Kamis, 17 Desember 2009

Pengaruh Budaya Organisasi dan Iklim Organisasi Terhadap Produktifitas Kerja Guru

BAB I
PENDAHULUAN

1.Latar Belakang Masalah
Penyelenggarakan pendidikan secara baik, tertata dan sistimatis hingga proses yang terjadi didalamnya dapat menjadi suatu sumbangan besar bagi kehidupan sosial masyarakat. Dalam hal ini sekolah sebagai suatu institusi yang melaksanakan proses pendidikan dalam tataran mikro menempati posisi penting, karena di lembaga inilah setiap anggota masyarakat dapat mengikuti proses pendidikan dengan tujuan mempersiapkan mereka dengan berbagai ilmu dan keterampilan agar lebih mampu berperan dalam kehidupan masyarakat.
Sekolah sebagai institusi pendidikan merupakan tempat proses pendidikan dilakukan yang memiliki sistem yang komplek dan dinamis. Dalam kaitannya, sekolah adalah tempat yang bukan hanya sekedar tempat untuk berkumpul guru dan murid serta civitas yang lainnya, melainkan berada pada suatu tatanan yang rumit dan saling berkaitan. Oleh karena itu sekolah dipandang sebagai suatu Oraganisasi yang memerlukan pengelolaan yang lebih sungguh-sungguh dan lebih baik sehingga tujuan dapat dapat tercapai dengaPenyelenggara pendidikan yang berkualitas atau bermutu dapat ditunjukkan oleh kemampuan dalam menciptakan proses pendidikan atau proses manejemen sekolah yang efektif dan efisien, oleh karena itu sumber daya yang ada harus betul-betul professional, sehingga sumber daya manusia pendidikan dapat diberdayakan secara optimal.
Salah satu usaha untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia ialah melalui proses pembelajaran di sekolah. Dalam usaha meningkatkan kualitas sumber daya pendidikan, guru merupakan komponen sumber daya manusia yang harus dibina dan dikembangkan terus-menerus.
Atas dasar tujuan dan alasan di atas, maka kebijakan pemerintah tentang manajemen berbasis sekolah membawa angin segar bagi para guru untuk melakukan kebebasan akademis dalam meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas. Permasalahan yang timbul sekarang adalah bahwa iklim kerja guru merupakan kontribusi terhadap proses pembelajaran yang kurang dikembangkan, bahkan guru belum mengenalnya.
Apabila guru/pendidik bekeinginan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, maka dapat dimulai dengan memperbaiki iklim kelasnya dan untuk itu telah terbuka kesempatan bagi guru dan kepala sekolah untuk mengkreasi suasana yang lebih intensif dalam sistem yang lebih “demokratis”.
Menurut Bloom dalam Hadiyanto mendefinisikan iklim dengan kondisi, pengaruh dan rangsangan dari luar yang meliputi pengaruh fisik sosial dan intelektual yang dipengaruhi peserta didik. Iklim kelas adalah aspek sosial informal dan aktivitas guru kelas yang secara spontan mempengaruhi tingkah laku. Iklim dapat juga dikatakan seperti hanya “kepribadian” pada manusia. Artinya, masing-masing kelas mempunyai ciri (kepribadian) yang tidak sama dengan kelas-kelas yang lain meskipun kelas itu dibangun dengan fisik dan bentuk atau arsitektur yang sama,
Jadi yang dimaksud dengan iklim kerja adalah segala situasi yang muncul akibat hubungan antara guru dengan guru, peserta didik dengan peserta didik atau hubungan antara peserta didik dengan guru yang menjadi ciri khusus dari kelas dan mempengaruhi proses belajar mengajar. Situasi dalam hal ini dapat dibagi menjadi beberapa skala yaitu kekompakan, kepuasan, kecepatan, formalitas, kesulitan dan demokrasi dari kelas.
Selanjutnya produktivitas kerja guru bukan semata-mata ditujukan untuk mendapatkan hasil kerja sebanyak-banyaknya, melainkan kualitas unjuk kerja juga penting di perhatikan. Kinerja guru dapat dilihat dari apa yang dilakukannya tersebut dalam kerjanya, yakni bagaimana guru melakukan pekerjaan atau unjuk kerjanya.
Dalam hal ini, prodiktivitas kerja guru dapat ditinjau berdasarkan tingkatannya dengan tolak ukur masing-masing, yang dilihat dari kinerja tenaga kependidikan. Kinerja dapat diartikan sebai prestasi kerja, pelaksanaan kerja, pencapaian kerja hasil kerja atau unjuk kerja. Mengapa dewasa ini sekolah tertinggal dari lembaga lainnya Padahal sekolah sebagai institusi sosial merupakan agen perubahan di masyarakat.
Apakah karena adanya ketidakmampuan pendidikan untuk mengantisipasi perubahan sosial yang bakal terjadi. Bagaimanapun, lembaga pendidikan perlu sekali untuk mampu mengelola perubahan. Jika tidak, lembaga pendidikan akan tergilas oleh perubahan yang ada, lalu tertinggal dan diabaikan konstituennya. Para pemimpin lembaga yang ingin mengarahkan organisasi mereka kedalam dunia baru harus memahami dinamika perubahan dan dapat menyediakan keterampian untuk mengelola perubahan karena itu perubahan pengetahuan manajemen adalah teknologi kunci yang berguna bagi pemimpin pendidikan untuk mengarahkan perubahan kualitatif yang berhasil di sekolah.
Tak ada alasan lain untuk mengabaikan pengelolaan lembaga pendidikan di abad ke-21 ini. Dengan kata lain pendidikan sebagai satu kegiatan fundamental manusia benar-benar memerlukan upaya pengelolaan terencana, terarah, terorganisir dan terpadu. Hal ini penting dilakukan karena pendidikan merupakan kegiatan yang berorientasi ke arah masa depan.
Untuk itu diperlukan sikap proaktif dan progresif para pengelola pendidikan agar mau menerapkan prinsip-prinsip dan teori-teori manajemen dalam aktivitas pengelolaan pendidikan yang dilaksanakan di setiap sekolah sebagai salah satu ciri profesionalismenya. Lalu apakah yang dapat mendukung keberhasilan restrukturisasi ?, Salah satu variabel penting adalah tersedianya iklim kerja yang baik dalam pendidikan. Para guru perlu meningkatkan kinerjanya dengan manajemen yang efektif.
Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa kinerja itu sendiri mencakup penyusunan rencana pembelajaran, pelaksanaan interaksi belajar mengajar, penilaian prestasi belajar didik, pelaksanaan tindak lanjut hasil penilaian peserta didik, pengembangan propesi, pemahaman wawasan penguasaan bahan kajian akademik.
Sekolah juga merupakan sarana yang sangat penting dalam upaya menciptakan suberdaya manusia yang andal dan terampil. Melalui pendidikan diharapkan manusia mengalami perubahan pengetahuan, keterampilan, dan perilaku sebagai modal dalam menjalani kehidupannya. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal mengemban tugas yang tidak ringan dalam menyiapkan sumberdaya manusia yang diharapkan. “Namun, kini sekolah mengalami tantangan besar yakni adanya sikap apriori masyarakat yang menganggap hasil pendidikan kurang bermutu” (Permadi, 2001: 49). Menurut Mulyasa (2004: 5) “Berbagai faktor menunjukan bahwa pendidikan yang ada belum mampu menghasilkan sumberdaya manusia yang sesuai dengan perkembangan masyarakat, dan kebutuhan pembangunan, meskipun kondisi yang ada sekarang belum sepenuhnya kesalahan pendidikan”.
Sekolah merupakan sebuah organisasi yang tidak bisa lepas dari budaya yang diciptakannya. Sekolah yang berprestasi merupakan dambaan setiap komponen masyarakat, dan menaruh perhatian besar terhadap kuantitas dan kualitas output sekolah yang dihasilkan. Dalam kondisi seperti ini jelas sulit diharapkan untuk mewujudkan sekolah berprestasi, banyak masalah yang diidentifikasi oleh Mukhtar dkk (2003) yang harus dihadapi oleh organisasi sekolah. Pertama adalah guru, dalam hal ini yang memiliki kecerdasan dan intelegensi, emosional spiritual, dan moral dalam mendidik, akan menghadapi kendala dalam melaksanakan tugasnya disebabkan karena kurangnya perhatian sekolah terhadap kesejahteraan guru. Kedua kurangnya fasilitas pengajaran yang mendukung guru melakukan inovasi pada aktivitas pembelajarannya. Ketiga, kurangnya kejelasan tugas-tugas yang diemban, atau mungkin terlalu banyaknya tugas yang diberikan kepadanya, sementara tenaga yang tersedia sangatlah terbatas. Keempat, adalah biaya. Kelima adalah kurang tersedianya sarana fasilitas pendukung seperti tenaga administrasi, laboratorium dan perpustakaan.
Berkaitan dengan terwujudnya sekolah berprestasi, hal itu tidak terlepas dari efektifnya kinerja guru yang berada di organisasi sekolah tersebut. Kinerja guru pada dasarnya terfokus pada perilaku guru di dalam melaksanakan program kerja untuk mencapai tujuan tersebut. Sedangkan perihal Kinerja guru dapat dilihat sejauh mana kinerja tersebut dapat memberikan pengaruh kepada anak didik. Secara spesifik tujuan kinerja juga mengharuskan para guru membuat keputusan khusus dimana tujuan pembelajaran dinyatakan dengan jelas dalam bnetuk tingkah laku yang kemudian ditransfer kepada peserta didik.
Pada konteks guru sebagai anggota organisasi sekolah akan lebih mudah mencapai kinerja yang tinggi jika ia mempunyai perilaku dan komitmen. Menyadari bahwa dirinya tidak hanya sebagai anggota dari organisasi sekolah tetapi juga paham terhadap tujuan organsiasi sekolah tersebut. Dengan demikian seorang guru akan dapat memahami sasaran dan kebijaksanaan organisasi yang pada akhirnya dapat berbuat dan bekerja sepenuhnya untuk keberhasilan program kerja organisasi sekolah. Apabila seorang individu dapat memahami sasaran dan kebijaksanaan organisasi, dengan kata lain pengembangan budaya organisasi diharapkan dapat menimbulkan komitmen guru untuk tujuan dimaksud.
Peran budaya organisasi sekolah adalah untuk menjaga dan memelihara komitmen sehingga kelangsungan mekanisme dan fungsi yang telah disepakati oleh organisasi dapat merealisasikan tujuan-tujuannya. Budaya organisasi yang kuat akan mempengaruhi setiap perilaku. Hal itu tidak hanya membawa dampak pada keuntungan organisasi sekolah secara umum, namun juga akan berdampak pada perkembangan kemampuan dan kinerja guru itu sendiri. Nilai-nilai budaya yang ditanamkan pimpinan akan mampu meningkatkan kemauan, kesetiaan, dan kebanggaan serta lebih jauh terciptanya Produktivitas kerja guru.
Di sekolah terjadi interaksi yang saling mempengaruhi antara individu dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun sosial. Lingkungan ini akan dipersepsi dan dirasakan oleh individu tersebut sehingga menimbulkan kesan dan perasaan tertentu. Dalam hal ini, sekolah harus dapat menciptakan suasana lingkungan kerja yang kondusif dan menyenangkan bagi setiap anggota sekolah, melalui berbagai penataan lingkungan, baik fisik maupun sosialnya. Moh. Surya (1997) menyebutkan bahwa: “Lingkungan kerja yang kondusif baik lingkungan fisik, sosial maupun psikologis dapat menumbuhkan dan mengembangkan motif untuk bekerja dengan baik dan produktif. Untuk itu, dapat diciptakan lingkungan fisik yang sebaik mungkin, misalnya kebersihan ruangan, tata letak, fasilitas dan sebagainya. Demikian pula, lingkungan sosial-psikologis, seperti hubungan antar pribadi, kehidupan kelompok, kepemimpinan, pengawasan, promosi, bimbingan, kesempatan untuk maju, kekeluargaan dan sebagainya“.
Dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS, Depdiknas (2001) mengemukakan bahwa salah satu karakterististik MPMBS adalah adanya lingkungan yang aman dan tertib, dan nyaman sehingga proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan nyaman (enjoyable learning).
Pentingnya membangun budaya organisasi di sekolah terutama berkenaan dengan upaya pencapaian tujuan pendidikan sekolah dan peningkatan kinerja sekolah. Sebagaimana disampaikan oleh Stephen Stolp (1994) tentang School Culture yang dipublikasikan dalam ERIC Digest, dari beberapa hasil studi menunjukkan bahwa budaya organisasi di sekolah berkorelasi dengan peningkatan motivasi dan prestasi belajar siswa serta kepuasan kerja dan produktivitas kerja guru. Begitu juga, studi yang dilakukan Leslie J. Fyans, Jr. dan Martin L. Maehr tentang pengaruh dari lima dimensi budaya organisasi di sekolah yaitu : tantangan akademik, prestasi komparatif, penghargaan terhadap prestasi, komunitas sekolah, dan persepsi tentang tujuan sekolah. Budaya organisasi di sekolah juga memiliki korelasi dengan sikap guru dalam bekerja.
Upaya untuk mengembangkan budaya organisasi di sekolah terutama berkenaan tugas kepala sekolah selaku leader dan manajer di sekolah. Dalam hal ini, kepala sekolah hendaknya mampu melihat lingkungan sekolahnya secara holistik, sehingga diperoleh kerangka kerja yang lebih luas guna memahami masalah-masalah yang sulit dan hubungan-hubungan yang kompleks di sekolahnya. Melalui pendalaman pemahamannya tentang budaya organisasi di sekolah, maka ia akan lebih baik lagi dalam memberikan penajaman tentang nilai, keyakinan dan sikap yang penting guna meningkatkan stabilitas dan pemeliharaan lingkungan sekolah.
Berdasarkan pernyataan tersebut di atas penulis lebih lanjut tertarik untuk melakukan penelitian yang diformulasikan dalam sebuah judul penelitian yaitu “Pengaruh Budaya Organisasi dan Iklim Organisasi terhadap Produktivitas Kerja Guru di Sekolah Potensial ( Penelitian pada SMP Potensial Se Wilayah Sukaraja Kabupaten Tasikmalaya )”.

1.2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, menunjukan bahwa budaya organisasi dan iklim organisasi mempengaruhi terhadap peningkatan Produktivitas kerja guru pada sekolah potensial di Wilayah Sukaraja.


1.3. Rumusan Masalah
Pokok masalah yang diungkap dalam penelitian ini adalah Pengaruh Budaya Organisasi dan iklim organisasi terhadap Produktivitas Kerja Guru di Sekolah Potensial.
Selanjutnya pokok masalah tersebut penulis perinci ke dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaruh Budaya Organisasi terhadap Produktivitas kerja guru pada Sekolah Potensial di Wilayah Sukaraja ?
2. Bagaimana pengaruh Iklim Organisasi terhadap Produktivitas Kerja Guru Sekolah Potensial di Wilayah Sukaraja ?
3. Bagaimana korelasi Budaya Organisasi dan Iklim Organisasi terhadap Produktivitas kerja guru pada Sekolah Potensial di Wilayah Sukaraja.

1.4. Tujuan Penelitian
Maksud dari penelitian ini adalah untuk menggali dan mendapatkan informasi tentang budaya organisasi dan iklim organisasi serta pengaruhnya terhadap Produktivitas kerja guru di Sekolah Potensial. Mengacu pada inti permasalahan yang telah diperinci di atas maka tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui sampai sejauhmana pengaruh Budaya Organisasi terhadap Produktivitas Kerja Guru di Sekolah Potensial.
2. Untuk mengetahui sampai sejauhmana pengaruh iklim organisasi terhadap Produktivitas Kerja Guru di Sekolah potensial.

1.5. Kegunaan Penelitian
1.5.1 Kegunaan Praktis
Dengan memperhatikan tujuan dan maksud penelitian di atas maka kegunaan penelitian ini adalah :
1. Hasil penelitian ini bermanfaat dalam pengembangan ilmu, khususnya kajian tentang semangat guru, iklim organisasi dan juga budaya organisasi sehingga dapat dijadikan sebagai landasan dalam pencapaian target program kerja sekolah dan tujuan pendidikan.
2. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi instansi terkait khususnya di Sekolah Potensial dalam usaha meningkatkan pencapaian target program kerja sekolah dan peningkatan mutu pendidikan melalui peningkatan Produktivitas kerja guru di sekolah.



1.5.2. Kegunaan Ilmiah
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai penambah wawasan, referensi akademik dan bahan perbandingan dalam melaksanakan penelitian “Pengaruh Budaya Organisasi dan Iklim Organisasi terhadap Produktivitas Kerja guru di sekolah Potensial se Wilayah Sukaraja”.

















BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

2.1. Kajian Pustaka
2.1.1. Kajian Tentang Budaya Organisasi
A. Pengertian Budaya Organisasi
Pemahaman tentang budaya organisasi sesungguhnya tidak lepas dari konsep dasar tentang budaya itu sendiri, yang merupakan salah satu terminologi yang banyak digunakan dalam bidang antropologi. Dewasa ini, dalam pandangan antropologi sendiri, konsep budaya ternyata telah mengalami pergeseran makna. Sebagaimana dinyatakan oleh C.A. Van Peursen (1984) bahwa dulu orang berpendapat budaya meliputi segala manifestasi dari kehidupan manusia yang berbudi luhur dan yang bersifat rohani, seperti : agama, kesenian, filsafat, ilmu pengetahuan, tata negara dan sebagainya. Tetapi pendapat tersebut sudah sejak lama disingkirkan. Dewasa ini budaya diartikan sebagai manifestasi kehidupan setiap orang dan setiap kelompok orang-orang. Kini budaya dipandang sebagai sesuatu yang lebih dinamis, bukan sesuatu yang kaku dan statis. Budaya tidak tidak diartikan sebagai sebuah kata benda, kini lebih dimaknai sebagai sebuah kata kerja yang dihubungkan dengan kegiatan manusia. Dari sini timbul pertanyaan, apa sesungguhnya budaya itu ? Marvin Bower seperti disampaikain oleh Alan Cowling dan Philip James (1996), secara ringkas memberikan pengertian budaya sebagai “cara kita melakukan hal-hal di sini”. Menurut Vijay Santhe sebagaimana dikutip oleh Taliziduhu Ndraha (1997)_budaya adalah : “ The set of important assumption (often unstated) that members of community share in common”.
Secara umum namun operasional, Edgar Schein (2002) dari MIT dalam tulisannya tentang Organizational Culture & Leadership mendefinisikan budaya sebagai berikut :
“ A pattern of shared basic assumptions that the group learned as it solved its problems of external adaptation and internal integration, that has worked well enough to be considered valid and, therefore, to be taught to new members as the correct way you perceive, think, and feel in relation to those problems”.

Dari Vijay Sathe dan Edgar Schein, kita temukan kata kunci dari pengertian budaya yaitu shared basic assumptions atau menganggap pasti terhadap sesuatu. Taliziduhu Ndraha mengemukakan bahwa asumsi meliputi beliefs (keyakinan) dan value (nilai). Beliefs merupakan asumsi dasar tentang dunia dan bagaimana dunia berjalan. Duverger sebagaimana dikutip oleh Idochi Anwar dan Yayat Hidayat Amir (2000) mengemukakan bahwa belief (keyakinan) merupakan state of mind (lukisan fikiran) yang terlepas dari ekspresi material yang diperoleh suatu komunitas.
Value (nilai) merupakan suatu ukuran normatif yang mempengaruhi manusia untuk melaksanakan tindakan yang dihayatinya. Menurut Vijay Sathe dalam Taliziduhu (1997) nilai merupakan “ basic assumption about what ideals are desirable or worth striving for.” Sementara itu, Moh Surya (1995) memberikan gambaran tentang nilai sebagai berikut :
“ …setiap orang mempunyai berbagai pengalaman yang memungkinkan dia berkembang dan belajar. Dari pengalaman itu, individu mendapatkan patokan-patokan umum untuk bertingkah laku. Misalnya, bagaimana cara berhadapan dengan orang lain, bagaimana menghormati orang lain, bagimana memilih tindakan yang tepat dalam satu situasi, dan sebagainya. Patokan-patokan ini cenderung dilakukan dalam waktu dan tempat tertentu.”

Pada bagian lain dikemukakan pula bahwa nilai mempunyai fungsi : (1) nilai sebagai standar; (2) nilai sebagai dasar penyelesaian konflik dan pembuatan keputusan; (3) nilai sebagai motivasi; (4) nilai sebagai dasar penyesuaian diri; dan (5) nilai sebagai dasar perwujudan diri. Hal senada dikemukakan oleh Rokeach yang dikutip oleh Danandjaya dalam Taliziduhu Ndraha (1997) bahwa : “ a value system is learned organization rules to help one choose between alternatives, solve conflict, and make decision.”
Dalam budaya organisasi ditandai adanya sharing atau berbagi nilai dan keyakinan yang sama dengan seluruh anggota organisasi. Misalnya berbagi nilai dan keyakinan yang sama melalui pakaian seragam. Namun menerima dan memakai seragam saja tidaklah cukup. Pemakaian seragam haruslah membawa rasa bangga, menjadi alat kontrol dan membentuk citra organisasi. Dengan demikian, nilai pakaian seragam tertanam menjadi basic. Menurut Sathe dalam Taliziduhu Ndraha (1997) bahwa shared basic assumptions meliputi : (1) shared things; (2) shared saying, (3) shared doing; dan (4) shared feelings.
Pada bagian lain, Edgar Schein (2002) menyebutkan bahwa basic assumption dihasilkan melalui : (1) evolve as solution to problem is repeated over and over again; (2) hypothesis becomes reality, dan (3) to learn something new requires resurrection, reexamination, frame breaking.
Dengan memahami konsep dasar budaya secara umum di atas, selanjutnya kita akan berusaha memahami budaya dalam konteks organisasi atau biasa disebut budaya organisasi (organizational culture). Adapun pengertian organisasi di sini lebih diarahkan dalam pengertian organisasi formal. Dalam arti, kerja sama yang terjalin antar anggota memiliki unsur visi dan misi, sumber daya, dasar hukum struktur, dan anatomi yang jelas dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
Sejak lebih dari seperempat abad yang lalu, kajian tentang budaya organisasi menjadi daya tarik tersendiri bagi kalangan ahli maupun praktisi manajemen, terutama dalam rangka memahami dan mempraktekkan perilaku organisasi.
Edgar Schein (2002) mengemukakan bahwa budaya organisasi dapat dibagi ke dalam dua dimensi yaitu :
(1) Dimensi external environments; yang didalamnya terdapat lima hal esensial yaitu: (a) mission and strategy; (b) goals; (c) means to achieve goals; (d) measurement; dan (e) correction.
(2) Dimensi internal integration yang di dalamnya terdapat enam aspek utama, yaitu : (a) common language; (b) group boundaries for inclusion and exclusion; (c) distributing power and status; (d) developing norms of intimacy, friendship, and love; (e) reward and punishment; dam (f) explaining and explainable : ideology and religion.

Pada bagian lain, Edgar Schein mengetengahkan sepuluh karateristik budaya organisasi, mencakup :
(1) observe behavior: language, customs, traditions; (2) groups norms: standards and values; (3) espoused values: published, publicly announced values; (4) formal philosophy: mission; (5) rules of the game: rules to all in organization; (6) climate: climate of group in interaction; (7) embedded skills; (8) habits of thinking, acting, paradigms: shared knowledge for socialization; (9) shared meanings of the group; dan (10) metaphors or symbols.

Sementara itu, Fred Luthan (1995) mengetengahkan enam karakteristik penting dari budaya organisasi, yaitu : (1) obeserved behavioral regularities; yakni keberaturan cara bertindak dari para anggota yang tampak teramati. Ketika anggota organisasi berinteraksi dengan anggota lainnya, mereka mungkin menggunakan bahasa umum, istilah, atau ritual tertentu; (2) norms; yakni berbagai standar perilaku yang ada, termasuk di dalamnya tentang pedoman sejauh mana suatu pekerjaan harus dilakukan; (3) dominant values; yaitu adanya nilai-nilai inti yang dianut bersama oleh seluruh anggota organisasi, misalnya tentang kualitas produk yang tinggi, absensi yang rendah atau efisiensi yang tinggi; (4) philosophy; yakni adanya kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan keyakinan organisasi dalam memperlakukan pelanggan dan karyawan (5) rules; yaitu adanya pedoman yang ketat, dikaitkan dengan kemajuan organisasi (6) organization climate; merupakan perasaan keseluruhan (an overall “feeling”) yang tergambarkan dan disampaikan melalui kondisi tata ruang, cara berinteraksi para anggota organisasi, dan cara anggota organisasi memperlakukan dirinya dan pelanggan atau orang lain
Dari ketiga pendapat di atas, kita melihat adanya perbedaan pandangan tentang karakteristik budaya organisasi, terutama dilihat dari segi jumlah karakteristik budaya organisasi. Kendati demikian, ketiga pendapat tersebut sesungguhnya tidak menunjukkan perbedaan yang prinsipil.
Budaya organisasi dapat dipandang sebagai sebuah sistem. Mc Namara (2002) mengemukakan bahwa dilihat dari sisi in put, budaya organisasi mencakup umpan balik (feed back) dari masyarakat, profesi, hukum, kompetisi dan sebagainya. Sedangkan dilihat dari proses, budaya organisasi mengacu kepada asumsi, nilai dan norma, misalnya nilai tentang : uang, waktu, manusia, fasilitas dan ruang. Sementara dilihat dari out put, berhubungan dengan pengaruh budaya organisasi terhadap perilaku organisasi, teknologi, strategi, image, produk dan sebagainya.
Dilihat dari sisi kejelasan dan ketahanannya terhadap perubahan, John P. Kotter dan James L. Heskett (1998) memilah budaya organisasi menjadi ke dalam dua tingkatan yang berbeda. Dikemukakannya, bahwa pada tingkatan yang lebih dalam dan kurang terlihat, nilai-nilai yang dianut bersama oleh orang dalam kelompok dan cenderung bertahan sepanjang waktu bahkan meskipun anggota kelompok sudah berubah. Pengertian ini mencakup tentang apa yang penting dalam kehidupan, dan dapat sangat bervariasi dalam perusahaan yang berbeda : dalam beberapa hal orang sangat mempedulikan uang, dalam hal lain orang sangat mempedulikan inovasi atau kesejahteraan karyawan. Pada tingkatan ini budaya sangat sukar berubah, sebagian karena anggota kelompok sering tidak sadar akan banyaknya nilai yang mengikat mereka bersama. Pada tingkat yang terlihat, budaya menggambarkan pola atau gaya perilaku suatu organisasi, sehingga karyawan-karyawan baru secara otomatis terdorong untuk mengikuti perilaku sejawatnya. Sebagai contoh, katakanlah bahwa orang dalam satu kelompok telah bertahun-tahun menjadi “pekerja keras”, yang lainnya “sangat ramah terhadap orang asing dan lainnya lagi selalu mengenakan pakaian yang sangat konservatif. Budaya dalam pengertian ini, masih kaku untuk berubah, tetapi tidak sesulit pada tingkatan nilai-nilai dasar. Untuk lebih jelasnya lagi mengenai tingkatan budaya ini dapat dilihat dalam bagan 1.

Tak Tampak Sulit berubah
Nilai yang dianut bersama : Keyakinan dan tujuan penting yang dimiliki bersama oleh kebanyakan orang dalam kelompok yang cenderung membentuk perilaku kelompok, dan sering bertahan lama, bahkan walaupun sudah terjadi perubahan dalam anggota kelompok.
Contoh : para manajer yang mempedulikan pelanggan; eksekutif yang suka dengan pertimbangan jangka panjang.

Norma perilaku kelompok : cara bertindak yang sudah lazim atau sudah meresap yang ditemukan dalam satu kelompok dan bertahan karena anggota kelompok cenderung berperilaku dengan cara mengajarkan praktek-praktek (juga- nilai-nilai yang mereka anut bersama) kepada para anggota baru memberi imbalan kepada mereka yang menyesuaikan dirinya dan menghukum yang tidak.
Contoh : para karyawan cepat menanggapi permintaan pelanggan; para menajer yang sering melibatkan karyawan tingkat bawah dalam pengambilan keputusan.
Tampak Mudah berubah

Pada bagian lain, John P. Kotter dan James L. Heskett (1998) memaparkan pula tentang tiga konsep budaya organisasi yaitu : (1) budaya yang kuat; (2) budaya yang secara strategis cocok; dan (3) budaya adaptif. Organisasi yang memiliki budaya yang kuat ditandai dengan adanya kecenderungan hampir semua manajer menganut bersama seperangkat nilai dan metode menjalankan usaha organisasi. Karyawan baru mengadopsi nilai-nilai ini dengan sangat cepat. Seorang eksekutif baru bisa saja dikoreksi oleh bawahannya, selain juga oleh bossnya, jika dia melanggar norma-norma organisasi.
Gaya dan nilai dari suatu budaya yang cenderung tidak banyak berubah dan akar-akarnya sudah mendalam, walaupun terjadi penggantian manajer. Dalam organisasi dengan budaya yang kuat, karyawan cenderung berbaris mengikuti penabuh genderang yang sama. Nilai-nilai dan perilaku yang dianut bersama membuat orang merasa nyaman dalam bekerja, rasa komitmen dan loyalitas membuat orang berusaha lebih keras lagi. Dalam budaya yang kuat memberikan struktur dan kontrol yang dibutuhkan, tanpa harus bersandar pada birokrasi formal yang mencekik yang dapat menekan tumbuhnya motivasi dan inovasi.
Budaya yang strategis cocok secara eksplisit menyatakan bahwa arah budaya harus menyelaraskan dan memotivasi anggota, jika ingin meningkatkan kinerja organisasi. Konsep utama yang digunakan di sini adalah “kecocokan”. Jadi, sebuah budaya dianggap baik apabila cocok dengan konteksnya. Adapun yang dimaksud dengan konteks bisa berupa kondisi obyektif dari organisasinya atau strategi usahanya.
Budaya yang adaptif berangkat dari logika bahwa hanya budaya yang dapat membantu organisasi mengantisipasi dan beradaptasi dengan perubahan lingkungan, akan diasosiasikan dengan kinerja yang superiror sepanjang waktu. Ralph Klimann menggambarkan budaya adaptif ini merupakan sebuah budaya dengan pendekatan yang bersifat siap menanggung resiko, percaya, dan proaktif terhadap kehidupan individu. Para anggota secara aktif mendukung usaha satu sama lain untuk mengidentifikasi semua masalah dan mengimplementasikan pemecahan yang dapat berfungsi. Ada suatu rasa percaya (confidence) yang dimiliki bersama. Para anggotanya percaya, tanpa rasa bimbang bahwa mereka dapat menata olah secara efektif masalah baru dan peluang apa saja yang akan mereka temui. Kegairahan yang menyebar luas, satu semangat untuk melakukan apa saja yang dia hadapi untuk mencapai keberhasilan organisasi. Para anggota ini reseptif terhadap perubahan dan inovasi. Rosabeth Kanter mengemukakan bahwa jenis budaya ini menghargai dan mendorong kewiraswastaan, yang dapat membantu sebuah organisasi beradaptasi dengan lingkungan yang berubah, dengan memungkinkannya mengidentifikasi dan mengeksploitasi peluang-peluang baru. Contoh perusahaan yang mengembangkan budaya adaptif ini adalah Digital Equipment Corporation dengan budaya yang mempromosikan inovasi, pengambilan resiko, pembahasan yang jujur, kewiraswastaan, dan kepemimpinan pada banyak tingkat dalam hierarki.

B. Proses Pembentukan Budaya Organisasi
Selanjutnya, kita akan membicarakan tentang proses terbentuknya budaya dalam organisasi. Munculnya gagasan-gagasan atau jalan keluar yang kemudian tertanam dalam suatu budaya dalam organisasi bisa bermula dari mana pun, dari perorangan atau kelompok, dari tingkat bawah atau puncak. Taliziduhu Ndraha (1997) menginventarisir sumber-sumber pembentuk budaya organisasi, diantaranya : (1) pendiri organisasi; (2) pemilik organisasi; (3) Sumber daya manusia asing; (4) luar organisasi; (4) orang yang berkepentingan dengan organisasi (stake holder); dan (6) masyarakat. Selanjutnya dikemukakan pula bahwa proses budaya dapat terjadi dengan cara: (1) kontak budaya; (2) benturan budaya; dan (3) penggalian budaya. Pembentukan budaya tidak dapat dilakukan dalam waktu yang sekejap, namun memerlukan waktu dan bahkan biaya yang tidak sedikit untuk dapat menerima nilai-nilai baru dalam organisasi. Lebih jelasnya, proses pembentukan budaya ini dapat diragakan dalam bagan 2 berikut ini :

















Bagan 2. Pola Umum Munculnya Budaya Organisasi
(sumber : John P. Kotter. & James L. Heskett, 1998. Corporate Culture and Performance. (terj Benyamin Molan). Jakarta: PT Prehalindo, h.9)

Setelah mapan, budaya organisasi sering mengabadikan dirinya dalam sejumlah hal. Calon anggota kelompok mungkin akan disaring berdasarkan kesesuaian nilai dan perilakunya dengan budaya organisasi. Kepada anggota organisasi yang baru terpilih bisa diajarkan gaya kelompok secara eksplisit. Kisah-kisah atau legenda-legenda historis bisa diceritakan terus menerus untuk mengingatkan setiap orang tentang nilai-nilai kelompok dan apa yang dimaksudkan dengannya.
Para manajer bisa secara eksplisit berusaha bertindak sesuai dengan contoh budaya dan gagasan budaya tersebut. Begitu juga, anggota senior bisa mengkomunikasikan nilai-nilai pokok mereka secara terus menerus dalam percakapan sehari-hari atau melalui ritual dan perayaan-perayaan khusus. Orang-orang yang berhasil mencapai gagasan-gagasan yang tertanam dalam budaya ini dapat terkenal dan dijadikan pahlawan. Proses alamiah dalam identifikasi diri dapat mendorong anggota muda untuk mengambil alih nilai dan gaya mentor mereka. Barangkali yang paling mendasar, orang yang mengikuti norma-norma budaya akan diberi imbalan (reward) sedangkan yang tidak, akan mendapat sanksi (punishment). Imbalan (reward) bisa berupa materi atau pun promosi jabatan dalam organisasi tertentu sedangkan untuk sanksi (punishment) tidak hanya diberikan berdasar pada aturan organisasi yang ada semata, namun juga bisa berbentuk sanksi sosial. Dalam arti, anggota tersebut menjadi isolated di lingkungan organisasinya.
Dalam suatu organisasi sesungguhnya tidak ada budaya yang “baik” atau “buruk”, yang ada hanyalah budaya yang “cocok” atau “tidak cocok” . Jika dalam suatu organisasi memiliki budaya yang cocok, maka manajemennya lebih berfokus pada upaya pemeliharaan nilai-nilai- yang ada dan perubahan tidak perlu dilakukan. Namun jika terjadi kesalahan dalam memberikan asumsi dasar yang berdampak terhadap rendahnya kualitas kinerja, maka perubahan budaya mungkin diperlukan.
Karena budaya ini telah berevolusi selama bertahun-tahun melalui sejumlah proses belajar yang telah berakar, maka mungkin saja sulit untuk diubah. Kebiasaan lama akan sulit dihilangkan. Walaupun demikian, Howard Schwartz dan Stanley Davis dalam bukunya Matching Corporate Culture and Business Strategy yang dikutip oleh Bambang Tri Cahyono mengemukakan empat alternatif pendekatan terhadap manajemen budaya organisasi, yaitu : (1) lupakan kultur; (2) kendalikan disekitarnya; (3) upayakan untuk mengubah unsur-unsur kultur agar cocok dengan strategi; dan (4) ubah strategi. Selanjutnya Bambang Tri Cahyono (1996) dengan mengutip pemikiran Alan Kennedy dalam bukunya Corporate Culture mengemukan bahwa terdapat lima alasan untuk membenarkan perubahan budaya secara besar-besaran : (1) Jika organisasi memiliki nilai-nilai yang kuat namun tidak cocok dengan lingkungan yang berubah; (2) Jika organisasi sangat bersaing dan bergerak dengan kecepatan kilat; (3) Jika organisasi berukuran sedang-sedang saja atau lebih buruk lagi; (4) Jika organisasi mulai memasuki peringkat yang sangat besar; dan (5) Jika organisasi kecil tetapi berkembang pesat.
Selanjutnya Kennedy mengemukakan bahwa jika tidak ada satu pun alasan yang cocok dengan di atas, jangan lakukan perubahan. Analisisnya terhadap sepuluh kasus usaha mengubah budaya menunjukkan bahwa hal ini akan memakan biaya antara 5 sampai 10 persen dari yang telah dihabiskan untuk mengubah perilaku orang. Meskipun demikian mungkin hanya akan didapatkan setengah perbaikan dari yang diinginkan. Dia mengingatkan bahwa hal itu akan memakan biaya lebih banyak lagi. dalam bentuk waktu, usaha dan uang.

C. Penerapan Budaya Organisasi di Sekolah
Dengan memahami konsep tentang budaya organisasi sebagaimana telah diutarakan di atas, selanjutnya di bawah ini akan diuraikan tentang penerapan budaya organisasi dalam konteks persekolahan. Secara umum, penerapan konsep budaya organisasi di sekolah sebenarnya tidak jauh berbeda dengan penerapan konsep budaya organisasi lainnya. Kalaupun terdapat perbedaan mungkin hanya terletak pada jenis nilai dominan yang dikembangkannya dan karakateristik dari para pendukungnya. Berkenaan dengan pendukung budaya organisasi di sekolah Paul E. Heckman sebagaimana dikutip oleh Stephen Stolp (1994) mengemukakan bahwa "the commonly held beliefs of teachers, students, and principals."
Nilai-nilai yang dikembangkan di sekolah, tentunya tidak dapat dilepaskan dari keberadaan sekolah itu sendiri sebagai organisasi pendidikan, yang memiliki peran dan fungsi untuk berusaha mengembangkan, melestarikan dan mewariskan nilai-nilai budaya kepada para siswanya. Dalam hal ini, Larry Lashway (1996) menyebutkan bahwa “schools are moral institutions, designed to promote social norms,…” .
Nilai-nilai yang mungkin dikembangkan di sekolah tentunya sangat beragam. Jika merujuk pada pemikiran Spranger sebagaimana disampaikan oleh Sumadi Suryabrata (1990), maka setidaknya terdapat enam jenis nilai yang seyogyanya dikembangkan di sekolah. Dalam tabel 1 berikut ini dikemukakan keenam jenis nilai dari Spranger beserta perilaku dasarnya.

Tabel 1. Jenis Nilai dan Perilaku Dasarnya menurut Spranger
No Nilai Perilaku Dasar
1 Ilmu Pengetahuan Berfikir
2 Ekonomi Bekerja
3 Kesenian Menikmati keindahan
4 Keagamaan Memuja
5 Kemasyarakatan Berbakti/berkorban
6 Politik/kenegaraan Berkuasa/memerintah

Dengan merujuk pada pemikiran Fred Luthan, dan Edgar Schein, di bawah ini akan diuraikan tentang karakteristik budaya organisasi di sekolah, yaitu tentang (1) obeserved behavioral regularities; (2) norms; (3) dominant value. (4) philosophy; (5) rules dan (6) organization climate.
(1) Obeserved behavioral regularities; budaya organisasi di sekolah ditandai dengan adanya keberaturan cara bertindak dari seluruh anggota sekolah yang dapat diamati. Keberaturan berperilaku ini dapat berbentuk acara-acara ritual tertentu, bahasa umum yang digunakan atau simbol-simbol tertentu, yang mencerminkan nilai-nilai yang dianut oleh anggota sekolah.
(2) Norms; budaya organisasi di sekolah ditandai pula oleh adanya norma-norma yang berisi tentang standar perilaku dari anggota sekolah, baik bagi siswa maupun guru. Standar perilaku ini bisa berdasarkan pada kebijakan intern sekolah itu sendiri maupun pada kebijakan pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Standar perilaku siswa terutama berhubungan dengan pencapaian hasil belajar siswa, yang akan menentukan apakah seorang siswa dapat dinyatakan lulus/naik kelas atau tidak. Standar perilaku siswa tidak hanya berkenaan dengan aspek kognitif atau akademik semata namun menyangkut seluruh aspek kepribadian.

Jika kita berpegang pada Kurikulum Berbasis Kompetensi, secara umum standar perilaku yang diharapkan dari tamatan Sekolah Menengah Atas, diantaranya mencakup :

(a) Memiliki keyakinan dan ketaqwaan sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.
(b) Memiliki nilai dasar humaniora untuk menerapkan kebersamaan dalam kehidupan.
(c) Menguasai pengetahuan dan keterampilan akademik serta beretos belajar untuk melanjutkan pendidikan.
(d) Mengalihgunakan kemampuan akademik dan keterampilan hidup dimasyarakat local dan global.
(e) Berekspresi dan menghargai seni.
(f) Menjaga kebersihan, kesehatan dan kebugaran jasmani.
(g) Berpartisipasi dan berwawasan kebangsaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara demokratis. (Depdiknas, 2002)

Sedangkan berkenaan dengan standar perilaku guru, tentunya erat kaitannya dengan standar kompetensi yang harus dimiliki guru, yang akan menopang terhadap kinerjanya. Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional, pemerintah telah merumuskan empat jenis kompetensi guru sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Peraturan Pemerintah No 14 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yaitu :
(a) Kompetensi pedagogik yaitu merupakan kemampuan dalam pengelolaan peserta didik yang meliputi: (a) pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; (b) pemahaman terhadap peserta didik; (c)pengembangan kurikulum/ silabus; (d) perancangan pembelajaran; (e) pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis; (f) evaluasi hasil belajar; dan (g) pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
(b) Kompetensi kepribadian yaitu merupakan kemampuan kepribadian yang: (a) mantap; (b) stabil; (c) dewasa; (d) arif dan bijaksana; (e) berwibawa; (f) berakhlak mulia; (g) menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat; (h) mengevaluasi kinerja sendiri; dan (i) mengembangkan diri secara berkelanjutan.
(c) Kompetensi sosial yaitu merupakan kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk : (a) berkomunikasi lisan dan tulisan; (b) menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional; (c) bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik; dan (d) bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar.
(d) Kompetensi profesional merupakan kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang meliputi: (a) konsep, struktur, dan metoda keilmuan/teknologi/seni yang menaungi/koheren dengan materi ajar; (b) materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah; (c) hubungan konsep antar mata pelajaran terkait; (d) penerapan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari; dan (e) kompetisi secara profesional dalam konteks global dengan tetap melestarikan nilai dan budaya nasional.
(3) Dominant values; jika dihubungkan dengan tantangan pendidikan Indonesia dewasa ini yaitu tentang pencapaian mutu pendidikan, maka budaya organisasi di sekolah seyogyanya diletakkan dalam kerangka pencapaian mutu pendidikan di sekolah. Nilai dan keyakinan akan pencapaian mutu pendidikan di sekolah hendaknya menjadi hal yang utama bagi seluruh warga sekolah. Adapun tentang makna dari mutu pendidikan itu sendiri, Jiyono sebagaimana disampaikan oleh Sudarwan Danim (2002) mengartikannya sebagai gambaran keberhasilan pendidikan dalam mengubah tingkah laku anak didik yang dikaitkan dengan tujuan pendidikan. Sementara itu, dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (Depdiknas, 2001), mutu pendidikan meliputi aspek input, proses dan output pendidikan. Pada aspek input, mutu pendidikan ditunjukkan melalui tingkat kesiapan dan ketersediaan sumber daya, perangkat lunak, dan harapan-harapan. Makin tinggi tingkat kesiapan input, makin tinggi pula mutu input tersebut. Sedangkan pada aspek proses, mutu pendidikan ditunjukkan melalui pengkoordinasian dan penyerasian serta pemanduan input sekolah dilakukan secara harmonis, sehingga mampu menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable learning), mampu mendorong motivasi dan minat belajar, dan benar-benar mampu memberdayakan peserta didik. Sementara, dari aspek out put, mutu pendidikan dapat dilihat dari prestasi sekolah, khususnya prestasi siswa, baik dalam bidang akademik maupun non akademik.
Berbicara tentang upaya menumbuh-kembangkan budaya mutu di sekolah akan mengingatkan kita kepada suatu konsep manajemen dengan apa yang dikenal dengan istilah Total Quality Management (TQM), yang merupakan suatu pendekatan dalam menjalankan suatu unit usaha untuk mengoptimalkan daya saing organisasi melalui prakarsa perbaikan terus menerus atas produk, jasa, manusia, proses kerja, dan lingkungannya. Berkaitan dengan bagaimana TQM dijalankan, Gotsch dan Davis sebagaimana dikutip oleh Sudarwan Danim (2002) mengemukakan bahwa aplikasi TQM didasarkan atas kaidah-kaidah : (1) Fokus pada pelanggan; (2) obsesi terhadap kualitas; (3) pendekatan ilmiah; (4) komitmen jangka panjang; (5) kerjasama tim; (6) perbaikan kinerja sistem secara berkelanjutan; (7) diklat dan pengembangan; (8) kebebasan terkendali; kesatuan tujuan; dan (10) keterlibatan dan pemberdayaan karyawan secara optimal.
Dengan mengutip pemikiran Scheuing dan Christopher, dikemukakan pula empat prinsip utama dalam mengaplikasikan TQM, yaitu: (1) kepuasan pelanggan, (2) respek terhadap setiap orang; (3) pengelolaan berdasarkan fakta, dan (4) perbaikan secara terus menerus.(Sudarwan Danim, 2002)
Selanjutnya, dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Depdiknas (2001) telah memerinci tentang elemen-elemen yang terkandung dalam budaya mutu di sekolah, yakni : (a) informasi kualitas harus digunakan untuk perbaikan; bukan untuk mengadili/mengontrol orang; (b) kewenangan harus sebatas tanggung jawab; (c) hasil harus diikuti penghargaan (reward) atau sanksi (punishment); (d) kolaborasi dan sinergi, bukan kompetisi, harus merupakan basis kerja sama; (e) warga sekolah merasa aman terhadap pekerjaannya; (f) atmosfir keadilan (fairness) harus ditanamkan; (g) imbal jasa harus sepadan dengan nilai pekerjaannya; dan (h) warga sekolah merasa memiliki sekolah.
Di lain pihak, Jann E. Freed et. al. (1997) dalam tulisannya tentang A Culture for Academic Excellence: Implementing the Quality Principles in Higher Education. dalam ERIC Digest memaparkan tentang upaya membangun budaya keunggulan akademik pada pendidikan tinggi, dengan menggunakan prinsip-prinsip Total Quality Management, yang mencakup : (1) vision, mission, and outcomes driven; (2) systems dependent; (3) leadership: creating a quality culture; (4) systematic individual development; (4) decisions based on fact; (5) delegation of decision making; (6) collaboration; (7) planning for change; dan (8) leadership: supporting a quality culture. Dikemukakan pula bahwa “when the quality principles are implemented holistically, a culture for academic excellence is created.. Dari pemikiran Jan E.Freed et. al. di atas, kita dapat menarik benang merah bahwa untuk dapat membangun budaya keunggulan akademik atau budaya mutu pendidikan betapa pentingnya kita untuk dapat mengimplementasikan prinsip-prinsip Total Quality Management, dan menjadikannya sebagai nilai dan keyakinan bersama dari setiap anggota sekolah.
(4) Philosophy; budaya organisasi ditandai dengan adanya keyakinan dari seluruh anggota organisasi dalam memandang tentang sesuatu secara hakiki, misalnya tentang waktu, manusia, dan sebagainya, yang dijadikan sebagai kebijakan organisasi. Jika kita mengadopsi filosofi dalam dunia bisnis yang memang telah terbukti memberikan keunggulan pada perusahaan, di mana filosofi ini diletakkan pada upaya memberikan kepuasan kepada para pelanggan, maka sekolah pun seyogyanya memiliki keyakinan akan pentingnya upaya untuk memberikan kepuasan kepada pelanggan. Dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Depdiknas (2001) mengemukakan bahwa :
“ pelanggan, terutama siswa harus merupakan fokus dari semua kegiatan di sekolah. Artinya, semua in put - proses yang dikerahkan di sekolah tertuju utamanya untuk meningkatkan mutu dan kepuasan peserta didik . Konsekuensi logis dari ini semua adalah bahwa penyiapan in put, proses belajar mengajar harus benar-benar mewujudkan sosok utuh mutu dan kepuasan yang diharapkan siswa.”

(5) Rules; budaya organisasi ditandai dengan adanya ketentuan dan aturan main yang mengikat seluruh anggota organisasi. Setiap sekolah memiliki ketentuan dan aturan main tertentu, baik yang bersumber dari kebijakan sekolah setempat, maupun dari pemerintah, yang mengikat seluruh warga sekolah dalam berperilaku dan bertindak dalam organisasi. Aturan umum di sekolah ini dikemas dalam bentuk tata- tertib sekolah (school discipline), di dalamnya berisikan tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh warga sekolah, sekaligus dilengkapi pula dengan ketentuan sanksi, jika melakukan pelanggaran. Joan Gaustad (1992) dalam tulisannya tentang School Discipline yang dipublikasikan dalam ERIC Digest 78 mengatakan bahwa : “ School discipline has two main goals: (1) ensure the safety of staff and students, and (2) create an environment conducive to learning.
(6) Organization climate; budaya organisasi ditandai dengan adanya iklim organisasi. Hay Resources Direct (2003) mengemukakan bahwa “organizational climate is the perception of how it feels to work in a particular environment. It is the "atmosphere of the workplace" and people’s perceptions of "the way we do things here.”
Di sekolah terjadi interaksi yang saling mempengaruhi antara individu dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun sosial. Lingkungan ini akan dipersepsi dan dirasakan oleh individu tersebut sehingga menimbulkan kesan dan perasaan tertentu. Dalam hal ini, sekolah harus dapat menciptakan suasana lingkungan kerja yang kondusif dan menyenangkan bagi setiap anggota sekolah, melalui berbagai penataan lingkungan, baik fisik maupun sosialnya. Moh. Surya (1997) menyebutkan bahwa:
“ Lingkungan kerja yang kondusif baik lingkungan fisik, sosial maupun psikologis dapat menumbuhkan dan mengembangkan motif untuk bekerja dengan baik dan produktif. Untuk itu, dapat diciptakan lingkungan fisik yang sebaik mungkin, misalnya kebersihan ruangan, tata letak, fasilitas dan sebagainya. Demikian pula, lingkungan sosial-psikologis, seperti hubungan antar pribadi, kehidupan kelompok, kepemimpinan, pengawasan, promosi, bimbingan, kesempatan untuk maju, kekeluargaan dan sebagainya. “

C. Arti Penting Membangun Budaya Organisasi di Sekolah
Pentingnya membangun budaya organisasi di sekolah terutama berkenaan dengan upaya pencapaian tujuan pendidikan sekolah dan peningkatan kinerja sekolah. Sebagaimana disampaikan oleh Stephen Stolp (1994) tentang School Culture yang dipublikasikan dalam ERIC Digest, dari beberapa hasil studi menunjukkan bahwa budaya organisasi di sekolah berkorelasi dengan peningkatan motivasi dan prestasi belajar siswa serta kepuasan kerja dan produktivitas guru. Begitu juga, studi yang dilakukan Leslie J. Fyans, Jr. dan Martin L. Maehr tentang pengaruh dari lima dimensi budaya organisasi di sekolah yaitu : tantangan akademik, prestasi komparatif, penghargaan terhadap prestasi, komunitas sekolah, dan persepsi tentang tujuan sekolah menunjukkan survey terhadap 16310 siswa tingkat empat, enam, delapan dan sepuluh dari 820 sekolah umum di Illinois, mereka lebih termotivasi dalam belajarnya dengan melalui budaya organisasi di sekolah yang kuat. Sementara itu, studi yang dilakukan, Jerry L. Thacker and William D. McInerney terhadap skor tes siswa sekolah dasar menunjukkan adanya pengaruh budaya organisasi di sekolah terhadap prestasi siswa. Studi yang dilakukannya memfokuskan tentang new mission statement, goals based on outcomes for students, curriculum alignment corresponding with those goals, staff development, and building level decision-making. Budaya organisasi di sekolah juga memiliki korelasi dengan sikap guru dalam bekerja. Studi yang dilakukan Yin Cheong Cheng membuktikan bahwa “ stronger school cultures had better motivated teachers. In an environment with strong organizational ideology, shared participation, charismatic leadership, and intimacy, teachers experienced higher job satisfaction and increased productivity”.
Upaya untuk mengembangkan budaya organisasi di sekolah terutama berkenaan tugas kepala sekolah selaku leader dan manajer di sekolah. Dalam hal ini, kepala sekolah hendaknya mampu melihat lingkungan sekolahnya secara holistik, sehingga diperoleh kerangka kerja yang lebih luas guna memahami masalah-masalah yang sulit dan hubungan-hubungan yang kompleks di sekolahnya. Melalui pendalaman pemahamannya tentang budaya organisasi di sekolah, maka ia akan lebih baik lagi dalam memberikan penajaman tentang nilai, keyakinan dan sikap yang penting guna meningkatkan stabilitas dan pemeliharaan lingkungan belajarnya.

2.1.2. Iklim Organisasi
A. Pengertian Iklim Organisasi
Perilaku karyawan dapat diketahui dalam tabiat dan karakteristik tertentu merupakan pencerminan dari kepribarian orang yang bersangkutan. Kepribadian seseorang itu biasanya ditempa oleh beberapa faktor, salah satunya faktor lingkungan (Mangkunegara, 2004: 35).
Salah satu faktor yang berkaitan dengan kinerja karyawan dalam suatu organisasi adalah lingkungan kerja terutama lingkungan di tempat para stakeholders hidup dan berada. Lingkungan kerja yang dimaksud merupakan elemen-elemen atau kelompok-kelompok yang berpengaruh langsung pada organisasi dan pada gilirannya akan dipengaruhi oleh organisasi (Hunger dan Whelen, 2001: 113).
Iklim organisasi adalah iklim kerja yang diciptakan dan dikembangkan secara sengaja, terjamin dan mendapat perlindungan dalam bekerja (Nawawi, 2001: 244). Siagian (2001: 63) menjelaskan iklim organisasi sebagai kondisi kerja yang bersifat fisik dan non fisik dari lingkungan kerja yang turut berpengaruh terhadap perilaku dan yang menjadi faktor motivasional yang perlu mendapat perhatian setiap pemimpin dalam organisasi.
Dengan demikian, dapat disimpulkan mengenai iklim organisasi adalah kondisi lingkungan kerja, baik yang bersifat material/ fisik maupun non material/ non fisik yang dapat mempengaruhi perilaku/ kinerja karyawan di dalam suatu organisasi.
B. Komponen-komponen Iklim Organisasi
Lingkungan kerja yang dihadapi oleh setiap menejer tidak hanya bersifat fisik dan alamiah semata-mata. Namun, pada umumnya apabila berbicara dengan lingkungan yang dimaksud adalah totalitas keadaan dan faktor yang mempunyai dampak tertentu terhadap organisasi. Dengan perkataan lain, komponen-komponen lingkungan itu biasanya terdiri dari paling sedikit lima hal, yaitu: (a) faktor ekenomi; (b) faktor social; (c) faktor fisik; (d) faktor politik; (e) factor teknologi (Siagian, 1988: 31). Lingkungan kerja merupakan elemen-elemen atau kelompok yang berpengaruh langsung pada organisasi (sekolah) dan pada gilirannya akan dipengaruhi oleh organisasi (sekolah) (Huger dan Whelen, 1996: 113). Kelompok ini terdiri dari pemerintah, komunitas local, pemasok, pesaing, pelanggan, kreditur, tenaga kerja, kelompok kepentingan khusus dan asosiasi perdagangan. Lingkungan kerja perusahaan pada umumnya adalah industri tempat perusahaan tersebut dioprasikan.
Secara garis besar, iklim organisasi dapat dikelompokan menjadi dua bagian yaitu kondisi kerja yang bersifat fisik/ material dan kondisi kerja yang bersifat non fisik/ non material. Untuk kondisi kerja yang bersifat kerja meliputi kelompok-kelompok sebagai berikut:
“(a) penerangan/ cahaya di tempat kerja; (b) temperature/ suhu udara di tempat kerja; (c) kelembaban di tempat kerja ; (d) sirkulasi udara di tempat kerja; (e) kebisingan di tempat kerja; (f) getaran mekanis di tempat kerja; (g) bau tidak sedap di lingkungan kerja; (h) tata warna di tempat kerja; (i) dekorasi di tempat kerja; (j) musik di tempat kerja; (k) keamanan di tempat kerja” (Sedarmayanti, 2000: 23)
Berikut ini akan di uraikan masing-masing faktor tersebut berkaitan dengan kemampuan manusia.
a. Penerangan/ cahaya ditempat kerja
Cahaya atau penerangan sangat besar manfaatnya bagi pegawai untuk mendapatkan keselamatan dan kelancaran kerja. Oleh karena itu, perlu diperhatikan adanya penerangan yang terang, tetapi tidak menyilaukan. Cahaya yang kurang jelas mengakibatkan penglihatan menjadi kurang jelas sehingga pekerjaan akan terlambat, banyak mengalami kesalahan, dan pada akhirnya kurang efisien dalam melaksanakan pekerjaan sehingga tujuan organisasi sulit di capai.
b. Temperatur/ suhu udara di tempat kerja
Dalam keadaan normal, setiap tubuh manusia mempunyai temperatur yang berbeda. Tubuh manusia selain berusaha untuk mempertahankan keadaan normal dengan suatu sistem tubuh yang sempurna sehingga dapat menyesuikan diri dengan perubahan yang terjadi di luar tubuh, tetapi untuk menyesuaikan diri tersebut ada batasnya yaitu tubuh manusia masih dapat menyesuaikan dirinya dengan temperatur luar jika perubahan temperatur luar tubuh lebih dari 20% untuk kondisi panas dan 35% untuk kondisi dingin dari keadaan normal tubuh.
c. Kelembaban ditempat kerja
Kelembaban adalah banyaknya air yang terkandung dalam udara, biasanya dinyatakan dengan persentase. Kelembaban ini berhubungan atau dipengaruhi oleh temperatur udara, dan bersama-sama antara temperatur, kelebaban, kecepatan udara bergerak dan radiasi panas dari udara tersebut akan mempengaruhi keadan tubuh manusia pada saat menerima atau melepaskan panas dari tubuhnya. Suatu keadaan dengan suhu udara panas dan kelembaban tinggi akan menimbulkan pengurangan panas dari tubuh secara besar-besaran, karena sitem penguapan. Pengaruh lain adalah semakin cepatnya darah untuk memenuhi kebutuhan semakin aktif pula pendarahan untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan tubuh manusia selalu berusaha untuk mencapai keseimbangan antara panas tubuh dengan suhu di sekitarnya.


d. Sirkulasi udara di tempat kerja
Oksigen merupakan gas yang dibutuhkan oleh makhluk hidup untuk menjaga kelangsungan hidup yaitu untuk proses metabolisme. Udara di sekitar dikatakan kotor apabila kadar oksigen dalam udara tersebut telah berkurang dan telah bercampur gas amoniak atau bau-bauan berbahaya bagi kesehatan tubuk. Kotornya udara dapat dirasakan dengan sesek napas dan hal ini tidak boleh dibiarkan nerlangsung terlalu lama, karena akan mempengaruhi kesehatan tubuh dan akan mempercepat proses kelelahan.
e. Kebisingan di tempat kerja
Salah satu penyebab polusi yang cukup menyibukan para pakar untuk mengatasinya adalah kebisingan, yaitu bunyi yang tidak dikehendaki oleh telinga. Tidak dikehendaki karena terutama jangka panjang bunyi tersebut dapat mengganggu ketenangan bekerja, merusak pendengaran dan dapat menimbulkan kesalahan komunikasi. Bahkan menurut penelitian, kebisingan yang serius dapat menyebabkan kematian. Karena pekerjaan membutuhkan konsentrasi, maka suara bising hendaknya dihindarkan agar pelaksanaan pekerjaan dapat dilakukan dengan efisien sehingga Produktivitas kerja meningkat.

f. Getaran mekanis di tempat kerja
Getaran mekanis artinya getaran yang ditimbulkan oleh alat mekanis, yang sebagian dari getaran ini sampai ke tubuh pegawai dan dapat menimbulkan akibat yang tidak diinginkan. Besarnya getaran ditentukan oleh intensitas dan frekuensi getarannya. Getaran mekanis pada umumnya sangat mengganggu tubuh karena ketidak teraturannya, baik tidak teratur dalam intensitas maupun frekuensinya. Sedangkan alat yang ada dalam tubuh mempunyai prekuensi alami, di mana alat yang satu berbeda frekuensi alaminya dengan alat yang lain. Gangguan terbesar terhadap suatu alat dalam tubuh terjadi apabila frekuensi alam ini beresonansi dengan frekuensi dari getaran mekanis.
g. Bau tidak sedap di tempat kerja
Adanya bau-bauan disekitar tempat kerja dapat dianggap sebagai pencemaran, karena dapat mengganggu kosentrasi bekerja dan bau-bauan yang terjadi terus menerus dapat mempengaruhi kepekaan penciuman. Pemakaian AC yang telah merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk menghilangkan bau tak sedap yang mengganggu disekitar tempat kerja.

` h. Tata warna di tempat kerja
Menata warna di tempat kerja perlu dipelajari dan direncanakkan dengan sebaik-baiknya. Pada kenyataanya tata warna tidak dapat dipisahkan dengan penataan dekorasi. Hal ini dapat dimaklumi karena warna mempunyai pengaruh terhadap perasaan. Sifat dan pengaruh warna kadang-kadang menimbulkan rasa senang, sedih, dll. Karena sifat warna dapat merangsang perasaan manusia.
i. Dekorasi di tempat kerja
Dekorasi ada hubungannya dengan tata warna yang baik, karena itu dekorasi tidak hanya berkaitan dengan hiasan ruangan kerja saja, tetapi berkaitan juga dengan cara mengatur tata letak, tata warna, perlengkapan dan lainnya untuk bekerja.
j. Musik di tempat kerja
Menurut para pakar, musik yang nadanya lembut sesuai dengan suasana, waktu dan tempat dapat membangkitkan dan merangsang pegawai untuk bekerja. Oleh karena itu, lagu-lagu perlu dipilih dengan selektif untuk dibunyikan di tempat kerja. Tidak sesuainya musik yang diperdengarkan di tempat kerja akan mengganggu kosenrasi kerja.


k. Keamanan di tempat kerja
Untuk menjaga tempat dan kondisi lingkungan kerja tetap dalam keadaan aman, maka perlu diperhatikan adanya keamanan dalam bekerja. Oleh karena itu faktor keamanan perlu diwujudkan keberadaannya. Salah satu upaya untuk menjaga keamanan di tempat kerja, dapat memanfaatkan jasa satuan petugas keamanan (satpam). Sejalan dengan pendapat tersebut, Siagian (2001: 63-64) mengkaitkan iklim organisasi dengan hal-hal yang bersifat fisik dari lingkungan kerja.
Komponen-komponen fisik iklim organisasi yang dimaksud adalah:
a. Bangunan tempat bekerja yang di samping menarik untuk dipandang juga dibangun dengan mempertimbangan keselamatan kerja.
b. Ruangan kerja yang “lega” dalam arti penempatan orang dalam suatu ruangan tidak mengakibatkan timbulnya perasaan sempit dan para karyawan disusun seperti “sardencis dalam kaleng”.
c. Ventilasi untuk keluar masuk udara yang segar.
d. Tersedianya peralatan kerja yang memadai.
e. Tersedianya tempat istirahat untuk melepas lelah, seperti
f cafeteria dan restoran, baik dalam lingkungan organisasi sekitarnya yang mudah dicapai para karyawan.
g. Tersedianya tempat melakukan ibadah keagamaan, seperti mushola atau mesjid, baik di komplek organisasi yang bersangkutan maupun disekitarnya.
H. Tersedianya sarana angkutan, baik yang khusus diperuntukan bagi karyawan maupun angkutan umum yang nyaman, murah dan mudah diperoleh.
Iklim organisasi yang bersifat non fisik / non material antar lain mengenai: (1) hubungan kerja antara atasan dengan bawahan, antara sesama karyawan / pegawai, (2) pembidangandan pembagian pekerjaan, (3) pembinaan dan pengembangan kerjasama serta persaingan yang sehat, (4) perilaku pimpinan yang bebas dari diskriminasi, kolusi korupsi dan nepotisme, dll (Nawawi 2000:259).
C. Aspek-aspek Iklim Organisasi
Pengembangan organisasi pada umumnya bergerak pada ruang lingkup peningkatan, penyempurnaan, perbaikan dan pengembangan kemampuan, sikap, nilai-nilai dan wawasan SDM dalam bekerja termasuk manajer puncak dan para manejer pembantunya agar lebih efektif, efesien, produktif dan berkualitas dalam melaksanakan tugas pokonya masing-masing di dalam suatu organisasi.
Pada prinsipnya pengembangan organisasi berfokus pada peningkatan, perbaikan dan penyempurnaan kemampuan SDM dalam melaksanakan tugas-tugas pokoknya di lingkungan organisasi, akan berlangsung efektif dan efisien apabila diiringi dengan penciptaan iklim lingkungan kerja yang berkualitas bagi setiap dan semua SDM di lingkungannya. Berdasarkan prinsip tersebut menurut Wayne Cascio (dalam Nawawi, 2000:252) terdapat beberapa aspek iklim lingkungan kerja terdiri dari:
1. Pemberian upah / gaji dan insentif lainnya yang layak (good pay and benefits) baik untuk memenuhu kebutuhan fisik minimal maupun untuk kebutuhan hidup minimal. Tanpa upah/gaji yang layak sulit untuk mengharapkan atau bahkan memaksa SDM agar memberikan kontribusi maksimal dalam melaksanakan tugas pokoknya. Kebutuhan fisik minimal sama pada semua manusia termasuk juga bagi SDM yang bekerja dilingkungan organisasi non profit. Untuk itu gaji atau upah sebagai penghargaan atau pembanyaran atas jasa-jasanya dalam bekerja, jumlahnya harus mencukupi kebutuhan fisik atau biologis, seperti makan untuk mendapatkan energi dalam bekerja, pakaian dan perumahan untuk perlindungan dalam menjalani kehidupan.
2. Supervisi yang baik (good supervision)
Supervisi sebagai kegiatan mengamati, menilai dan membantu SDM agar bekerja secara efektif dan efisien, merupakan salah satu kegiatan pengembangan organisasi (PO), karena bertujuan untuk terus-menerus memperbaiki, meningkatkan menyempurnakan keterampilan dalam bekerja.

3. Pekerjaan yang menyenangkan
Teori motivasi tentang perilaku manusia secara prinsip bertolak dari asumsi dasar bahwa “seseorang hanya akan mengerjakan sesuatu yang menyenangkan, dan tidak akan mengerjakan sesuatu yang tidak menyenangkan”. Asumsi dasar itu sangat penting dalam melaksanakan kegiatan PO di lingkungan organisasi sebagai hasil pengimplementasian iklim lingkungan kerja yang berkualitas. Pekerjaan yang menyenangkan adalah bebas dari tekanan dan paksaan, disamping mudah atau tudak rumit melaksanakannya. Namun pekerjaan yang berat dan kompleks juga akan menyenangkan jika dalam suasana kerja yang saling membantu dalam suasana kerja yang efektif dan efisien. Selanjutnya pekerjaan juga akan menyenangkan jika sarana dan prasarana untuk melaksanakannya tersedia dalam jumlah yang cukup dan selau siap untuk digunakan.
Susana kerja atau pekerjaan yang menyenangkan tidak saja akan memberikan rasa puas dalam bekerja, tetapi juga akan menimbulkan motivasi yang tinggi untuk memperbaiki, mengembangkan dan mengingkatkan keterampilan atau keahlian kerja sebagai wujud pelaksanaan PO.
4. Pekerjaan yang menantang
Motivasi kerja tidak saja timbul karena pekerjaan yang menyenangkan, tetapi juga yang menangtang untuk mencapai suatu prestasi sebagai bentuk kesuksesan kerja yang diinginkan olen setiap pekerja. Dalam kata lain pekerjaan yang menantang cenderung akan menimbulkan motivasi berprestasi melalui kemampuan berkompetisi secara sehat dalam arti jujur dan sportif sejalan dengan kemampuan bekerja sama yang efektif dan efisien. Kompetisi dan kerjasama di lingkungan organisasi yang sehat ibarat dua sisi pada mata uang yang sama.
5. Pekerjaan yang menarik
Setiap SDM akan menyenangi Pekerjaan dalam bidang yang sesuai dengan potensi, latar belakang pengalaman, pendidikan, keterampilan dan keahlian atau profesionalisme yang dikuasainya. Kesesuaian itu membuat pekerjaannya dirasakan menarik, karena mencakup sesuatu yang sudah dikenal dan dipahaminya
6. Kondisi kerja yang baik
Perasaan puas dan senang dalam bekerja di lingkungan organisasi sangat dipengaruhi oleh kondisi kerja, baik yang bersifat fisik / material maupun psikis/ non material. Kondisi kerja yang bersifat fisik menyangkut faktor sarana dan prasarana seperti luas ruangan, penerangan, pengturan pentilasi udara, penataan ruangan termasuk penataan peralatan, warna dinding, ketersediaan perlengkapan dan peralatan kerja baik. Faktor psikis antara lain mengenai hubungan kerja antara atasan dengan bawahan, antara sesama karyawan/ pegawai, pembidangan dan pembagian pekerjaan, pembinaan dan pengembangan kerja sama dan perdaingan yang sehat, perilaku pimpinan yang bebas dari deskriminasi, kolusi, korupsi, nepotisme dll. Kondisi kerja yang baik berkenaan kedu faktor tersebut diatas merupakan faktor yang mendukung dalam memberikan kontribusi untuk mewujudkan eksistansi organisasi melalui pelaksanaan tugas masing-masing secara efektif dan efisien. Dengan kata lain kondisi kerja yang baik merupakan wujud dari eksistansi organisasi yang baik atau sehat akan berdampak terhadap produktivitas kerja

2.1.3. Produktivitas Kerja
A. Pengertian produktivitas kerja
Konsep produktivitas pada awalnya dilakukan oleh seorang ekonom berkebangsaan Prancis bernama Quesney pada tahun 1776 (Akhmad, 2000: 34). Oleh karena itu, sangat wajar apabila pengertian produktivitas senantiasa dikaitkan dengan perolehan nilai ekonomis dari suatu kegiatan yakni bagaimana upaya untuk mencapai hasil sebesar mungkin dengan menggunakan sumberdaya sekecil-kecilnya. Dalam Ensyclopedia Britania (dalam Akhmad, 2000: 34) pengertian produktivitas dikemukakan sebagai berikut: “Produktivitas dalam kegiatan ekonomi berarti rasio dari hasil yang dicapai dengan pengorbanan yang dikeluarkan untuk menghasilkan sesuatu”.
Ravianto (1999: 14) mendefinisikan pengertian produktivitas sebagai berikut: “(1) Derajat efisiensi dan efektivitas dari penggunaan elemen produksi; dan (2) Di atas segalanya, merupakan sikap netral yang senantiasa mencari perbaikan terhadap apa yang telah ada”.
Dalam perkembangan selanjutnya, produktivitas diartikan sangat beragam bergantung pada fokus tujuannya. Kuper (dalam Safuri, 1999: 68) menyatakan bahwa “Produktivitas adalah perpaduan antara efektivitas dan efesiensi”.
Pernyataan tersebut di atas dijabarkan lebih rinci oleh Sumath (1989: 2) yang menyatakan: Produktivity is measure of the use of the resources of an organizational and is usually expressed as ratio of: the output abtained by the us of resources the amount of resources employed.
Sumant menegaskan dalam pernyataan di atas bahwa produktivitas adalah pengukuran terhadap pengaruh sumberdaya dalam suatu organisasi dan biasanya menjelaskan perbandingan dari hasil yang diperoleh dari penggunaan sumberdaya dengan jumlah sumberdaya yang diperlukan.
Nawawi dan Martini (2000:36) mengemukakan pengertian produktivitas sebagai berikut:
(1) Produktivitas kerja adalah perbandingan antara hasil yang diperoleh (output) dengan sumberdaya yang digunakan (input). Produktivitas kerja dinyatakan tinggi jika hasil yang diperoleh lebih tinggi daripada sumberdaya yang dipergunakan. Hasil yang dicapai tidak saja sekedar dihitung dengan jumlah dan mutu sesuatu yang dihasilkan, tetapi juga dari segi banyaknya manfaat dari pihak lain; dan
(2) Produktivitas kerja yang diukur dari daya guna penggunaan personal sebagai tenaga kerja. Produktivitas ini digambarkan dari ketepatan penggunaan metode atau cara kerja dan alat-alat yang tersedia, sehingga volume dan beban kerja dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang tersedia. Dari produktivitas kerja ini juga diperoleh gambarannya dari dedikasi, loyalitas, kesungguhan, disiplin, ketepatan penggunaan metode,dan sebagainya yang tampak selama pegawai melaksanakan volume dan beban kerjanya.

Manulang (dalam Cahyono, 1999: 5) mengungkapkan produktivitas kerja sebagai berikut: “Produktivitas kerja adalah suatu sikap mental yang selalu mempunyai pandangan bahwa mutu kehidupan hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan hari esok harus lebih baik dari hari ini”.
Pandangan lain dikemukakan Engkoswara (1995: 25) produktivitas kerja dari dua sudut pandang yang berbeda, yakni “Efektivitas dalam pelaksanaan kerja dan efesiensi dalam penggunaan sumberdaya yang tersedia”. Untuk lebih jelasnya perhatikan kutipan dibawah ini:
1) Sudut pandang pertama berkaitan dengan pencapaian unjuk kerja yang maksimal dalam arti pencapaian target yang berkaitan dengan kualitas, kuantitas dan waktu. Dan
2) Sudut pandang kedua merujuk pada upaya membandingkan masukan dengan realitas penggunaan atau bagaimana pekerjaan itu dilakukan.

Demikian pula Gomes (1999: 159) mendefinisikan pengertian produktivitas sebagai berikut:
Produktivitas kerja merupakan fungsi perkalian dari usaha pegawai (effort) yang didukung dengan motivasi yang tinggi dengan kemampuan pegawai (ability) yang diperoleh melalui pelatihan. Produktivitas kerja yang meningkatkan berarti berformasi yang baik, akan menjadi umpan balik (feedback) bagi usaha atau motivasi pegawai pada tahapan berikutnya.

Sedarmayanti, (2002: 56-57) merumuskan tentang produktivitas yaitu “Sikap mental yang mempunyai semangat untuk melakukan peningkatan perbaikan”. Peningkatan berbaikan akan menimbulkan sikap produktif yang meliputi: (a) motivasi, (b) disiplin, (c) kreatif, (d) inovatif, (e) dinamis, (f) professional, dan (g) berjiwa besar.
Berdasrkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa produktivitas kerja merupakan rasio antara efetivitas dan efesiensi dari berbagai sumberdaya yang ditunjukan untuk mencapai keluaran organisasi semaksimal mungkin dengan biaya seminimal mungkin dalam suatu satuan waktu tertentu dan memiliki kualitas hasil tertentu pula. Produktivitas kerja individu adalah perbandingan dari efektivitas keluaran (pencapaian unjuk kerja yang maksimal) dengan efisiensi salah satu masukan (tenaga kerja) yang mencakup kuantitas dan kualitas dalam satu waktu tertentu.
B. Produktivitas kerja guru
Apabila produktivitas merupakan tujuan, maka perlu dipahami makna produiktivitas kerja itu sendiri. Sutermeister (1976: 10) membatasi produkitivitas sebagai ukuran “Kuantitas kualitas kinerja dengan mempertimbangkan kemanfaatan sumber daya. Produktivitas itu sendiri dipengaruhi perkembangan bahan, teknologi dan kemampuan manusia”. Penertian produktivitas dalam arti teknis mengacu kepada derajat keefektifan, efisiensi dalam penggunaan suber daya. Dalam pengertian perilaku, produktivitas merupakan sikap mental yang senantiasa berusaha untuk terus berkembang.
Berdasarkan pengertian teknis produktivitas dapat diukur dengan dua standar utama, yaitu produktivitas fisik dan produktivitas nilai. Secara fisik produktivitas diukur secara kuantitatif seperti banyaknya keluaran (panjang, berat, lamanya waktu dan jumlah). Berdasarkan nilai, produktivitas diukur atas dasar nilai-nilai kemampuan, sikap, perilaku disiplin, motivasi dan komitmen terhadap pekerjaan atau tugas. Oleh karena itu mengukur produktivitas tidak mudah di samping banyaknya varibel juga ukuran yang digunakan sangat bervariasi.
Mali (dalam Moekijat, 1999: 15) misalnya mengukur produktivitas berdasarkan kombinasi antara efektivitas dan efisiensi. Efektivitas dikaitkan dengan perfonmance dan efisiensi dikaitkan dengan penggunaan sumber-sumber. Indek produktivitas diukur berdasarkan perbandingan atau rasio antara pencapaian performance dengan sumber-sumber yang dialokasikan.
Indek – Produktivitas =
Vroom (dalam Fattah, 2002: 16) hampir sejalan dengan Sutermeister dalam menggunakan formula di man produktivitas diartikan sebagai prestasi kerja. Formula yang digunakan adalah sebagai berikut:
P = f (M x K)
P : Prestasi kerja
M : Motivasi berpretasi
K : Kemampuan
Jadi, menurut Vroom, produktivitas kerupakan fungsi dari motivasi dikalikan kemampuan, artinya tinggi rendahnya produktivitas dipengruhi oleh faktor motivasi dan kemampuan.
Secara khusus di bidang pendidikan formal, Thomas (1976: 12) mengartukan produktivitas sekolah ditentukan oleh tiga fungsi utama, yaitu: “(1) Fungsi administrasi, (2) Fungsi psikologi, (3) Fungsi ekonomi”. Ke tiga fungsi tersebut secara linier menentukan tinggi rendahnya tingkat produktivitas sekolah.
Dengan demikian, produktivitas organisasi (total productivity) secara lebih luas mengidentifikasikan keberhasilan dan atau kegagalan dalam menghasilkan suatu produk tertentu (barang atau jasa) secara kuantitas dan kualitas dengan memanfaatkan sumber-sumber yang benar. Produktivitas berkaitan dengan pelaksanaan tugas-tugas dengan cara terbaik. Produktivitas merupakan kriteria, pencapaian kerja yang diterapkan kepada individu, kelompok atau organisasi. Sebaliknya produktivitas tidak hanya memerlukan kreativitas. Tetapi menurut Gilmore, (dalam Fattah, 2002: 15) dalam produktivitas terdapat tiga aspek , yaitu: prestasi akademis, kreativitas dan kepemimpinan. Seseorang yang intelegensinya tinggi mempunyai kecenderungan kreatif, berprestasi dan akhirnya akan produktif.
Dalam dunia pendidikan produktivitas sekolah banyak ditentukan oleh kemampuan manajerial tenaga kependidikan atau manajemen personalia pendidikan. Manajemen personalia itu sendiri bertujuan untuk mendayagunakan tenaga kepandidikan secara efektif dan efisien untuk mencapai hasil yang optimal, namun dalam kondisi yang menyengkan. Fungsi personalia yang harus dilaksanakan pimpinan yaitu: dengan cara menarik, mengembangkan, mengkaji dan memotivasi personil guna mencapai tujuan.
Produktivitas berkaitan erat dengan kinerja sebagai wujud perilaku atau kegiatan yang dilaksanakan sesuai dengan harapan dan kebutuhan yang hendak dicapai secara efektif dan efisien. Standar kinerja perlu dirumuskan sebagai acuan dalam mengadakan perbandingan terhadap apa yang akan dicapai dengan apa yang diharapka. Adapun yang menjadi patokan adalah:
a. Produksi yang mengacu pada ukuran
b. Efisiensi mengacu kepada penggunaan sumberdaya
c. Kepuasan mengacu kepada keberhasilan dalam memenuhi kebutuhan karyawa atau anggota organisasi.
d. Keadaptasian mengacu kepada ukuran tanggapan terhadap perubahan
Hasil produk atau output dari produktivitas lembaga pendidikan sebagai berikut: Kriteria keberhasilan dalam administrari pendidikan dapat dilihat dari efektivitas dan efesiensi terhadap produktivitas pendidikan efektivitas yaitu: kesepadanan antara masukan yang merata dan keluaran yang banyak dan bermutu tinggi atau keluaran yang relevan dengan kebutuhan pembangunan bangsa. Efesiensi adalah menunjuk pada motivasi belajar yang tinggi, semangat belajar, kepercayaan berbagai pihak dan pembayaran, waktu dan tenaga, yang sekecil mungkin dengan hasil yang sebesar-besarnya.
Berkaitan dengan analisis penelitian ini secara aplikatif kriteria keberhasilan produktivitas pendidikan akan menjadi standar ukuran sebagai wujud produktivitas kinerja guru.
Dalam dunia pendidikan, produktivitas kerja sangat berhubungan dengan keseluruhan proses penataan dan penggunaan sumberdaya untuk mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien. Penataan sumberdaya ini secara jelas dikemukakan Allan (1971: 12-23) sebagai berikut:
Produktivitas kerja dalam pendidikan mencakup tiga fungsi yaitu:
1) The Administrator Production Function (PFI), yakni suatu fungsi manajerial yang berhubungan dengan pelbagai pelayanan untuk kebutuhan siswa dan guru. Masukan diidetifikasi sebagai perlengkapan mengajar, ruangan, buku dan kualifikasikan mengajar yang memungkinkan tercapainya pelaksanaan pendidikam yang baik. Sedangkan keluarnya antara lain meliputi lama tahun dan lama jam mengajar,
2) The Psychologist’s Production Function (PPF), yakni suatu fungsi perilaku (behavioral) yang keluarannya mengacu pada fungsi pelayanan yang dapat mengubah perilaku siswa dalam kemampuan kognisi, keterampilan, dan sikap. Masukannya diidentifikasikan antara lain waktu mengajar, sakap dan kecakapan guru serta fasilitas, dan
3) The Ekonomic Production Funtion (EPF), yakni suatu fungsi ekonomi yang keluarnya diidentifikasikan sebagai lulusan yang memiliki kompetensi tinggi, sehingga apabila siswa sudah bekerja dapat memperoleh penghasilan yang tinggi melebiki biaya pendidikan yang dikeluarkannya. Masukannya adalah semua biaya yang dikeluarkan selama pendidikan.

Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa produktivitas kerja pendidikan dapat ditinjau dari sudut fungsi administrasi, fungsi psikologis maupun fungsi ekomomis . produktivitas kerja dalam dunia pendidikan tentu akan sangat berbeda dengan produktivitas kerja bidang kegiatan lain yang mudah untuk dihitung dan dikalkulasikan. Produktivitas kerja pendidikan ditentukan oleh bayak faktor, antara lain: lingkungan sosial budaya, kemampuan pendanaan pemerintah, daya serap dunia usaha atau dunia kerja, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, sesungguhnya sangat sulit dan rumit untuk mengukur tingkat produktivitas kerja dalam dunia pendidikan terutama apabila ingin mengukur kualitasnya.
Engkoswara (1998: 19) menyatakan bahwa:
Dalam dunia pendidikan produktivitas kerja, khususnya produktivitas kerja guru tidak harus berhubungan dengan rasio output dan input seperti halnya sering terlihat pada produktivitasnya kerja karyawan perusahaan. Produktivitas kerja guru adalah unjuk kerja dalam melaksanakan tugas pokoknya sebagai tenaga pendidikan uang bertanggungjawab terhadap bangsa dan negara.
Pendapat di atas sejalan denga pernyataan Iskandar (1998: 1) sebagai berikut:
Produktivitas kerja guru sebagai pendidik mengandung arti yang luas, tidak sebatas memberikan bahan-bahan pengajaran secara optimal saja, tetapi menjangkau etika dan estetika perilaku siswa kelak dalam menghadapi tantangan kehidupan di masyarakat. Tugas dan tanggungjaawab guru hendaknya dapat mempertanggungjawabkan secara Hablumminallah dan Hablumminannas. Pertanggungjawaban secara Hablumminallah adalah pertanggungjawaban guru terhadap sang Pencipta (Allah), sedangkan pertanggungjawaban Hablumminannas merupakan pertanggungjawaban guru terhadap manusia (pemerintah, masyarakat dan orang tua siswa).
Sedangkan untuk mengukur sampai sejauh mana tinglat kroduktivitas kerja guru dalam melaksanakan tugasnya sebagai tenaga yang bekerja di bidang pendidikan dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsanya. Yaitu mencetak dan menghasilkan SDM Indonesia yang berkualitas, Iskandar (1998: 7) mengungkapkan sebagai berikut:
Tingkat produktivitas kerja guru dapat dilihat dari kompetensi dan produktivitas kerja guru dalam:
1) Menerapkan landasan pendidikan, baik filosofi maupun psikologi,
2) Menerapkan teori belajar yang sesuai dengan tingkat perkembangan perilaku peserta didik,
3) Menangani mata pelajaran atau bidang studi yang ditugaskan lepadanya,
4) Menerapkan metode pengajran yang sesuai dengan karakter bahan ajar,
5) Menggunakan berbagai alat pelajaran dan media serta afasilitas belajar,
6) Mengorganisasikan dan melaksanakan program pengajaran,
7) Melksanakan evaluasi belajar, dan
8) Menumbuhkan kepribadian peserta didik.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa produktivitas kerja guru bukanlah semata-mata pada sisi kuantitas, yakni dapat membentuk atau menghasilkan sisiwa menjadi SDM yang handal sebagaimana telah ditetapkan dalam tujuan Pendidikan Nasional yang secara esensial merupakan pengejawantahan dari harapan dan tuntutan orang tua sisiwa, masyarakat, dan pemerintah.
C. Fungsi pengukuran produktivitas kerja guru
Pengukuran terhadap Produktivitas kerja sangat perlu dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan agar dapat diketahui dengan pasti sampai sejauh mana signifikasi tingkat kenaikan atau kemundurannya. Dengan mengetahui tingkat kenaikan dan kemunduran tersebut, maka dapat ditentukan segera langkah-langkah yang tepat untuk mengatasinya. Hal ini sejalan dengan pendapat Ravianto (1999: 31) yang menyatakan bahwa fungsi pengukuran dari pengukuran produktivitas kerja guru adalah:
1) Untuk melihat tingkat maupun perubahan produktivitas kerja yang terjadi dalam perjalanan waktu yang telah dilakukan oleh seluruh karyawan (guru),
2) Untuk memberikan penilaian nyata atas unjuk kerja dari para karyawan (guru), dan
3) Untuk membandingkan produktivitas sendiri dengan produktivitas kerja organisasi/ lembaga yang lain, yakni untuk melihat posisi diri sendiri pada saat ini.

D. Faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas kerja guru
Faktor yang mempengaruhi produktivitas secara umum adalah kemampuan, motivasi dan pretasi individu pegawai. Faktor yang mempengaruhi bisa berasal dari dalam maupun luar. Faktor dalam adalah pendidikan, motivasi dan kepuasan kerjasama, komitmen terhadap pekerjaan yang diembannya. Faktor luar adalah fasilitras tersedia, keeratan hubungan, sistem pengembangan karier, dan kepeminpinan.
Ravianto, (1999: 237) mengemukakan bahwa produktivitas kerja sangat dipengaruhi oleh tiga belas faktor dominan, faktor-faktor tersebut adalah “(a) pendidikan, (b) keterampilan, (c) disiplin, (d) motivasi, (e) sikap dan etika, (f) gizi dan kesehatan, (g) tingkat penghasilan, (h) jaminan sosial, (i) teknologi, (j) lingkungan dan iklim kerja, (k) sarana produksi, (l) manajemen, dan (m) kesempatan berprestasi.
Dengan mengkaji berbagai pendapat di atas, kemudian dikaitkan dengan tugas guru, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi prodiktivitas kerja guru tersebut terdiri atas dua kelompok, yaitu: Pertama, kelompok internal yaitu faktor-faktor yang berasal dari dalam diri individu, yang termasuk kelompok internal adalah pendidikan, keterampilan, disiplin, motivasi intristik, sikap, etika kerja, dan gizi. Kedua, kelompok eksternal adalah faktor-faktor yang berasal dari luar diri individu seperti, tingkat penghasilan, jaminan sosial, lingkungan dan iklim kerja, teknologi, sarana produksi, manajemen, dan kesempatan untuk berpretasi.

2.2. Kerangka Pemikiran
Dalam rangka meningkatkan produktivitas kerja guru sesuai dengan yang diharapkan perlu diciptakan iklim organisasi yang kondusif dan menyenangkan baik fisik maupun non fisik pada lingkungan sekolah.
Salah satu faktor yang mempengaruhi terhadap produktivitas kerja guru diantaranya adalah terbentuknya budaya organisasi yang menciptakan suasana kondusip dan menyenangkan, Efek dominanya adalah kualitas pendidikan para peserta didik juga akan meningkat pesat maka spontan program kerja sekolahpun akan tercapai sesuai dengan target yang telah ditetapkan, sedangkan jika yang terjadi sebaliknya, maka sudah dapat diprediksikan guru bekerja tidak akan efektif dan tentu takkan optimal, bahayanya lagi – kalau ini terjadi – ialah kualitas peserta didik menurun programpun tidak akan tercapai.
Dengan memperhatikan uraian singkat di atas maka penulis sampaikan bahwa budaya organisasi yang dapat menciptakan suasana organisasi sekolah kondusip dan nyaman serta mampu menanamkan dan menjaga komitmen, kesetiaan, kebanggaan dan kemauan akan mempengaruhi terhadap efektivitas kerja guru begitu pula dengan iklim organisasi yang kondusip akan mempengaruhi terhadap produktivitas kerja Guru.
Digambarkan dalam sebuah skema sebagai berikut :

Gambar 1
KERANGKA PEMIKIRAN

X1 r x1- y




R. x1. x2 - y



X2

r x2 – y



2.3. Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka penulis menetapkan hipotesis sebagai berikut :
1. Iklim Organisasi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap produktivitas kerja guru SMP Potensial di wilayah sukaraja belum baik.
2. Budaya organisasi mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap produktivitas kerja guru pada SMP. Potensial di wilayah sukaraja
3. Terdapat korelasi antara Budaya Organisasi dengan Iklim Organisasi terhadap produktivitas kerja guru.












BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Objek Penelitian
Yang menjadi objek dalam penelitian ini kepala sekolah dan guru – guru di SMP Potensial Se Wilayah Sukaraja. Karena yang penulis teliti tidak lebih dari 100 orang maka tidak menggunakan penelitian sampel semua responden dijadikan sebagai populsi sebanyak 40 orang termasuk kepala sekolah

3.2. Metode Penelitian
Metode penelitian yang akan digunakan dalam penyusunan tesis ini adalah Metode deskriptif dengan teknik survey. Yang dimaksud dengan metode deskriptif adalah sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan, melukiskan keadaan subjek dan objek penelitian ( seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain ) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya sedangkan survey pada umumnya merupakan cara pengumpulan data dari sejumlah unit atau individu dalam waktu yang bersamaan.
Metode deskriptif menurut Nazir (1985: 65) adalah suatu metode untuk meneliti status kelompok manusia, suatu objek, serta kondisi dan sistem pemikiran pada masa sekarang. Tujuannya adalah untuk membuat gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diteliti
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini diharapkan dapat mengungkapkan fenomena yang dikaji secara sistematis untuk mendapatkan kebenaran dari segala permasalahan yang diteliti. Demikian pula penelitian ini dimaksudkan untuk dapat menggambarkan realita dari permasalahan yang diteliti secara mendalam dengan cara mencari data yang faktual dari variabel yang diteliti, sehingga hubungan dari semua variabel tersebut dapat dianalisis secara kuantitatif dan relevan dengan data yang diperoleh.

3.3. Operasional Variabel
Untuk mengetahui pengaruh Budaya Organisasi dan iklim organisasi terhadap produktivitas kerja guru pada Sekolah Menengah Pertama potensial di wilayah sukaraja diperlukan operasionalisasi variabel.
Operasionalisasi variabel dimaksudkan untuk mengetahui pengukuran variabel-varibel penelitian. Dalam penelitian ini yang menjadi varibel bebas atau varibel independent yaitu Budaya organisasi (X1) dan Iklim Organisasi (X2), sedangkan varibel terikat atau variabel dependent (varibel Y) yaitu produktivitas kerja guru. Adapun secara operasional varibel-varibel tersebut dapat dijabarkan pada table berikut.

Tabel 3.1
Operasionalisasi variabel penelitian

N0 Variable Aspek Indicator No item ordinal
1 Iklim organisai (X1) 1. lingkungan fisik










2. lingkungan nonfisik 1.1 Kondisi penerangan di tempat kerja
1.2 keadaan suhu udara di tempat kerja
1.3 ventilasi udara di tempat kerja
1.4 layout ruang kantor
1.5 kebersihan ruang kerja
1.6 kebisingan di tempat kerja
1.7 kenyamanan dan keamanan tempat kerja
1.8 kerapihan tempat kerja
1.9 keadaan seragam personil
1.10 tesedianya peralatan kerja yang memadai
1.11 tersedianya tempat istirahat seperti cafeteria
1.12 tersedia tempat ibadah
1.13 keadaan sarana dan prasarana sekolah
1.14 tersedianya sarana angkutan
2.1 hubungan kerja sama antara atasan dengan bawahan atau sesame karyawan
2.2 pembidangan dan pembagian kerja
2.3 pembinaan dan pengembangan kerja sama
2.4 persaingan yang sehat
2.5 prilaku pimpinan yang bebas dari deskriminasi dan KKN, serta lainnya 1
2
3
4
5
6

7-8
9
10

11

12
13

14

15

16-17


18-20

21-23

24-25

26-30

2




Budaya Organisasi (X1)








1 Nilai




2 Norma




1.1 kenyakinan diri
1.2 Tujuan
1.3 kebanggaan
1.4 persaingan

2.1 menerima tugas
2.2 umpan balik
2.3 tanggungjawab
2.4 Pekerjaan

1-18




19-32
3 Produktivitas kerja guru (Y) 1 Efektivitas

2 Bekerja dengan produktif 1.1 efektif dalam pelaksanaan tugas
2.1 lebih dari memenuhi kualifikasi pendidikan
2.2 motivatif
2.3 propesional
2.4 disiplin
2.5 kreatip dan dinamis
1-4

5-7

8-14

15-29

Keterkaitan antara variabel – variabel tersebut di atas dapat digambarkan melalui diagram berikut :





Keterangan :
X1 : Budaya Organisasi
X2 : Iklim Organisasi
Y : Program Kerja Guru
rx1y : Korelasi antara X1 dengan Y
rx2y : Korelasi antara X2 dengan Y
rx1x2y : Korelasi antara X1, X2 dengan Y

3.4. Sumber Data dan Alat Pengumpulan Data
Berdasarkan gambaran di atas, maka yang menjadi fokus penelitian adalah Budaya Organisasi dan iklim kerja terhadap produktivitas kerja guru pada Sekolah potensial di Wilayah Sukaraja. Sumber datanya akan diperoleh dari populasi yang terdiri dari 40.orang , dan semua dijadikan responden (tidak dilakukan penelitian sampel). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 3.2
Keadaan dan Jumlah Responden

No. Responsen Jumlah Keterangan
1 Guru dan Kepala Sekolah 40
Jumlah 40
Sumber :.Daftar Guru dan TU SMP Potensial Se Wilayah Sukaraja
Selanjutnya, data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari responden sesuai dengan kebutuhan informasi yang dituangkan dalam pernyataan terstruktur, sedangkan data sekunder yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung dari responden yang menunjang pada pembahasan hasil penelitian. Atau denga kata lain bahwa sumber dan alat pengumpul data diperoleh dari :
1. Data sekunder melalui studi dokumentasi yang berupa laporan, hasil penelitian sejenis, atau dari dokumen-dokumen yang berkaitan dengan masalah-masalah penelitian.
2. Data primer melalui penelitian lapangan, dengan :
a. Angket/ kuesioner, yang dilakukan dengan cara memberikan formulir berisi jumlah pernyataan secara tertulis dengan disertai alternatif jawaban kepada responden, sehingga responden tinggal memilih jawaban sesuai keadaan yang sebenarnya (angket tertutup).
b. Wawancara, yaitu mencari informasi kepada pihak yang dianggap berkompeten dalam masalah penelitian dengan menggunakan pedoman wawancara.
Alat pengumpul data yang berupa kuesioner terlebih dahulu harus dilakukan uji validitas dan uji relibilitas. Untuk menguji validitas alat ukur yang berupa angket terlebih dahulu dicari korelasi antara bagian-bagian dari alat ukur secara keseluruhan , dengan cara mengkorelasi setiap butir alat ukur dengan skor total yang merupakan jumlah tiap skor butir dengan menggunakan rumus korelasi ”Product Moment Person” sebagai berikut :

Keterangan :
r = Koefisien korelasi
X = Jumlah sekor tiap item ke-1
Y = Jumlah skor total seluruh item
n = Jumlah responden

Selanjutnya dihitung nilai/ statistik uji t pada tarap signifikan α = 0,05 dan derajat kebebasan (dk) = n-2 dengan rumus :

Keterangan :
t = Nilai t terhitung
r = Koefisien korelasi hasil hitung
n = Jumlah Responden
Kaidah keputusan :
1. Jika t hasil hitung lebih dari t hasil daftar distribusi, maka instrumen tersebut valid
2. Jika t hasil perhitungan kurang dari atau sama dengan t hasil dari distribusi, maka instrumen tersebut tidak valid.
Selain harus valid, alat ukur penelitian juga harus reliabel atau handal , reliabilitas merupakan indeks yang menunjukan sejauhmana alat ukur penelitian dapat dipercaya atau diandalkan. Dengan demikian reliabilitas menunjukan konsistensi alat ukur penelitian dalam mengukur gejala yang sama. Untuk menguji alat ukur penelitian ini menggunakan rumus “Alfa Crombach” dengan tahapan sebagai berikut :
1. Penentuan nilai korelasi (r) untuk menentukan nilai korelasi digunakan rumus sebagai berikut :
Rumus menghitung Si1 dan ST2



Keterangan :
n = Jumlah responden
Jki = Penjumlahan dari kuadrat seluruh skor tiap atem
Jks = Penjumlahan dari kuadrat jumlah skor tiap item
XT = Skor masing-masing responden
K = Jumlah item

2. Penentuan nilai hitung . rumus yang digunakan untuk mendapatkan nilai t hitung sebagai berikut :

Dimana :
r = Koefisien korelasi
n = Jumlah Responden

3. Pernyataan keputusan nilai t hitung yang dihasilkan kemudian dibandingkan dengan nilai t tabel, pada tarap nyata sebesar a = 0.05 dan derajat kebbasan sebesar dk = n – 2 setelah dibandingkan kemudian diambil keputusannya dengan pernyataan sebagai berikut :
a. Jika t hasil hitung > t tabel, maka alat ukur penelitian yang digunakan reliabel
b. Jika t hitung t tabel, maka alat ukur penelitian yang digunakan tersebut tidak reliabel



3.5. Teknik Analisis Data dan Uji Hipotesis
Untuk menganalisis data yang telah terkumpul digunakan cara statistik , baik secara deskriptif inferensial atau analisis hubungan antar variabel. Adapun analisis ini menggunakan model analisis jalur ( path analysis ). Dengan langkah langkah sebagai berikut :
E
1. Membuat diagram jalur variabel ryx
ryx1
rx1x2
ryx2
Catatan : X1 : Budaya Organisasi
X2 : Iklim Organisasi
Y : Program Kerja Guru

2. Menghitung korelasi antara variabel independen (X1) dan variabel independen (X2) dengan variabel dependen Y.
3. Menyusun matrik Korelasi RX dan vektor RY

4. Menghitung inver s matrik RX yaitu RX1

5. Menghitung koefisien jalur RYX1 yaitu :
PYX1 = RX RY : 1 = 12
6. Koefisien determinan R2Y (X1X2)

7. Mengkaji koefisien jalur secara simultan
F = (N-K-1) R2Y(X1X2)
8. Mengkaji secara parsial masing-masing koefisien jalur

9. Menentukan keputusan
a. Jika t hitung > t (α, n – k – 1), maka H0 ditolak dan H2 diterima artinya terdapat perbedaan tentang besarnya pengaruh diantara dua variabel.
b. Jika t hitung < t (α, n – k – 1), maka H0 diterima dan H1 ditolak artinya besarnya pengaruh diantara dua variabel sama.









3.1 Tempat/Lokasi dan Jadwal Penelitian
Penelitian ini penulis lakukan di SMP Potensial Se Wilayah Sukaraja Kabupaten Tasikmalaya . dengan jadwal sebagai berikut :
JADWAL KEGIATAN
No Uraian Kegiatan Waktu Kegiatan
2009/2010
Okt Nop Des Jan Peb Mar Apr Mei
1) Persiapan Penelitian V V
2) Observasi V
3) Membuat Usulan Penelitian V
4) Seminar Usulan Penelitian V
5) Pelaksanaan Penelitian Lapangan V V V
6) Pengolahan Data V V V
7) Penulisan/Penyusunan Tesis V V
8) Pelaksanaan Ujian Sidang v

Pengaruh Budaya Organisasi dan Iklim Organisasi Terhadap Produktifitas Kerja Guru

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah
Penyelenggarakan pendidikan secara baik, tertata dan sistimatis hingga proses yang terjadi didalamnya dapat menjadi suatu sumbangan besar bagi kehidupan sosial masyarakat. Dalam hal ini sekolah sebagai suatu institusi yang melaksanakan proses pendidikan dalam tataran mikro menempati posisi penting, karena di lembaga inilah setiap anggota masyarakat dapat mengikuti proses pendidikan dengan tujuan mempersiapkan mereka dengan berbagai ilmu dan keterampilan agar lebih mampu berperan dalam kehidupan masyarakat.
Sekolah sebagai institusi pendidikan merupakan tempat proses pendidikan dilakukan yang memiliki sistem yang komplek dan dinamis. Dalam kaitannya, sekolah adalah tempat yang bukan hanya sekedar tempat untuk berkumpul guru dan murid serta civitas yang lainnya, melainkan berada pada suatu tatanan yang rumit dan saling berkaitan. Oleh karena itu sekolah dipandang sebagai suatu Oraganisasi yang memerlukan pengelolaan yang lebih sungguh-sungguh dan lebih baik sehingga tujuan dapat dapat tercapai dengan mutu yang baik.
Penyelenggara pendidikan yang berkualitas atau bermutu dapat ditunjukkan oleh kemampuan dalam menciptakan proses pendidikan atau proses manejemen sekolah yang efektif dan efisien, oleh karena itu sumber daya yang ada harus betul-betul professional, sehingga sumber daya manusia pendidikan dapat diberdayakan secara optimal.
Salah satu usaha untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia ialah melalui proses pembelajaran di sekolah. Dalam usaha meningkatkan kualitas sumber daya pendidikan, guru merupakan komponen sumber daya manusia yang harus dibina dan dikembangkan terus-menerus.
Atas dasar tujuan dan alasan di atas, maka kebijakan pemerintah tentang manajemen berbasis sekolah membawa angin segar bagi para guru untuk melakukan kebebasan akademis dalam meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas. Permasalahan yang timbul sekarang adalah bahwa iklim kerja guru merupakan kontribusi terhadap proses pembelajaran yang kurang dikembangkan, bahkan guru belum mengenalnya.
Apabila guru/pendidik bekeinginan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, maka dapat dimulai dengan memperbaiki iklim kelasnya dan untuk itu telah terbuka kesempatan bagi guru dan kepala sekolah untuk mengkreasi suasana yang lebih intensif dalam sistem yang lebih “demokratis”.
Menurut Bloom dalam Hadiyanto mendefinisikan iklim dengan kondisi, pengaruh dan rangsangan dari luar yang meliputi pengaruh fisik sosial dan intelektual yang dipengaruhi peserta didik. Iklim kelas adalah aspek sosial informal dan aktivitas guru kelas yang secara spontan mempengaruhi tingkah laku. Iklim dapat juga dikatakan seperti hanya “kepribadian” pada manusia. Artinya, masing-masing kelas mempunyai ciri (kepribadian) yang tidak sama dengan kelas-kelas yang lain meskipun kelas itu dibangun dengan fisik dan bentuk atau arsitektur yang sama,
Jadi yang dimaksud dengan iklim kerja adalah segala situasi yang muncul akibat hubungan antara guru dengan guru, peserta didik dengan peserta didik atau hubungan antara peserta didik dengan guru yang menjadi ciri khusus dari kelas dan mempengaruhi proses belajar mengajar. Situasi dalam hal ini dapat dibagi menjadi beberapa skala yaitu kekompakan, kepuasan, kecepatan, formalitas, kesulitan dan demokrasi dari kelas.
Selanjutnya produktivitas kerja guru bukan semata-mata ditujukan untuk mendapatkan hasil kerja sebanyak-banyaknya, melainkan kualitas unjuk kerja juga penting di perhatikan. Kinerja guru dapat dilihat dari apa yang dilakukannya tersebut dalam kerjanya, yakni bagaimana guru melakukan pekerjaan atau unjuk kerjanya.
Dalam hal ini, prodiktivitas kerja guru dapat ditinjau berdasarkan tingkatannya dengan tolak ukur masing-masing, yang dilihat dari kinerja tenaga kependidikan. Kinerja dapat diartikan sebai prestasi kerja, pelaksanaan kerja, pencapaian kerja hasil kerja atau unjuk kerja. Mengapa dewasa ini sekolah tertinggal dari lembaga lainnya Padahal sekolah sebagai institusi sosial merupakan agen perubahan di masyarakat.
Apakah karena adanya ketidakmampuan pendidikan untuk mengantisipasi perubahan sosial yang bakal terjadi. Bagaimanapun, lembaga pendidikan perlu sekali untuk mampu mengelola perubahan. Jika tidak, lembaga pendidikan akan tergilas oleh perubahan yang ada, lalu tertinggal dan diabaikan konstituennya. Para pemimpin lembaga yang ingin mengarahkan organisasi mereka kedalam dunia baru harus memahami dinamika perubahan dan dapat menyediakan keterampian untuk mengelola perubahan karena itu perubahan pengetahuan manajemen adalah teknologi kunci yang berguna bagi pemimpin pendidikan untuk mengarahkan perubahan kualitatif yang berhasil di sekolah.
Tak ada alasan lain untuk mengabaikan pengelolaan lembaga pendidikan di abad ke-21 ini. Dengan kata lain pendidikan sebagai satu kegiatan fundamental manusia benar-benar memerlukan upaya pengelolaan terencana, terarah, terorganisir dan terpadu. Hal ini penting dilakukan karena pendidikan merupakan kegiatan yang berorientasi ke arah masa depan.
Untuk itu diperlukan sikap proaktif dan progresif para pengelola pendidikan agar mau menerapkan prinsip-prinsip dan teori-teori manajemen dalam aktivitas pengelolaan pendidikan yang dilaksanakan di setiap sekolah sebagai salah satu ciri profesionalismenya. Lalu apakah yang dapat mendukung keberhasilan restrukturisasi ?, Salah satu variabel penting adalah tersedianya iklim kerja yang baik dalam pendidikan. Para guru perlu meningkatkan kinerjanya dengan manajemen yang efektif.
Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa kinerja itu sendiri mencakup penyusunan rencana pembelajaran, pelaksanaan interaksi belajar mengajar, penilaian prestasi belajar didik, pelaksanaan tindak lanjut hasil penilaian peserta didik, pengembangan propesi, pemahaman wawasan penguasaan bahan kajian akademik.
Sekolah juga merupakan sarana yang sangat penting dalam upaya menciptakan suberdaya manusia yang andal dan terampil. Melalui pendidikan diharapkan manusia mengalami perubahan pengetahuan, keterampilan, dan perilaku sebagai modal dalam menjalani kehidupannya. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal mengemban tugas yang tidak ringan dalam menyiapkan sumberdaya manusia yang diharapkan. “Namun, kini sekolah mengalami tantangan besar yakni adanya sikap apriori masyarakat yang menganggap hasil pendidikan kurang bermutu” (Permadi, 2001: 49). Menurut Mulyasa (2004: 5) “Berbagai faktor menunjukan bahwa pendidikan yang ada belum mampu menghasilkan sumberdaya manusia yang sesuai dengan perkembangan masyarakat, dan kebutuhan pembangunan, meskipun kondisi yang ada sekarang belum sepenuhnya kesalahan pendidikan”.
Sekolah merupakan sebuah organisasi yang tidak bisa lepas dari budaya yang diciptakannya. Sekolah yang berprestasi merupakan dambaan setiap komponen masyarakat, dan menaruh perhatian besar terhadap kuantitas dan kualitas output sekolah yang dihasilkan. Dalam kondisi seperti ini jelas sulit diharapkan untuk mewujudkan sekolah berprestasi, banyak masalah yang diidentifikasi oleh Mukhtar dkk (2003) yang harus dihadapi oleh organisasi sekolah. Pertama adalah guru, dalam hal ini yang memiliki kecerdasan dan intelegensi, emosional spiritual, dan moral dalam mendidik, akan menghadapi kendala dalam melaksanakan tugasnya disebabkan karena kurangnya perhatian sekolah terhadap kesejahteraan guru. Kedua kurangnya fasilitas pengajaran yang mendukung guru melakukan inovasi pada aktivitas pembelajarannya. Ketiga, kurangnya kejelasan tugas-tugas yang diemban, atau mungkin terlalu banyaknya tugas yang diberikan kepadanya, sementara tenaga yang tersedia sangatlah terbatas. Keempat, adalah biaya. Kelima adalah kurang tersedianya sarana fasilitas pendukung seperti tenaga administrasi, laboratorium dan perpustakaan.
Berkaitan dengan terwujudnya sekolah berprestasi, hal itu tidak terlepas dari efektifnya kinerja guru yang berada di organisasi sekolah tersebut. Kinerja guru pada dasarnya terfokus pada perilaku guru di dalam melaksanakan program kerja untuk mencapai tujuan tersebut. Sedangkan perihal Kinerja guru dapat dilihat sejauh mana kinerja tersebut dapat memberikan pengaruh kepada anak didik. Secara spesifik tujuan kinerja juga mengharuskan para guru membuat keputusan khusus dimana tujuan pembelajaran dinyatakan dengan jelas dalam bnetuk tingkah laku yang kemudian ditransfer kepada peserta didik.
Pada konteks guru sebagai anggota organisasi sekolah akan lebih mudah mencapai kinerja yang tinggi jika ia mempunyai perilaku dan komitmen. Menyadari bahwa dirinya tidak hanya sebagai anggota dari organisasi sekolah tetapi juga paham terhadap tujuan organsiasi sekolah tersebut. Dengan demikian seorang guru akan dapat memahami sasaran dan kebijaksanaan organisasi yang pada akhirnya dapat berbuat dan bekerja sepenuhnya untuk keberhasilan program kerja organisasi sekolah. Apabila seorang individu dapat memahami sasaran dan kebijaksanaan organisasi, dengan kata lain pengembangan budaya organisasi diharapkan dapat menimbulkan komitmen guru untuk tujuan dimaksud.
Peran budaya organisasi sekolah adalah untuk menjaga dan memelihara komitmen sehingga kelangsungan mekanisme dan fungsi yang telah disepakati oleh organisasi dapat merealisasikan tujuan-tujuannya. Budaya organisasi yang kuat akan mempengaruhi setiap perilaku. Hal itu tidak hanya membawa dampak pada keuntungan organisasi sekolah secara umum, namun juga akan berdampak pada perkembangan kemampuan dan kinerja guru itu sendiri. Nilai-nilai budaya yang ditanamkan pimpinan akan mampu meningkatkan kemauan, kesetiaan, dan kebanggaan serta lebih jauh terciptanya Produktivitas kerja guru.
Di sekolah terjadi interaksi yang saling mempengaruhi antara individu dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun sosial. Lingkungan ini akan dipersepsi dan dirasakan oleh individu tersebut sehingga menimbulkan kesan dan perasaan tertentu. Dalam hal ini, sekolah harus dapat menciptakan suasana lingkungan kerja yang kondusif dan menyenangkan bagi setiap anggota sekolah, melalui berbagai penataan lingkungan, baik fisik maupun sosialnya. Moh. Surya (1997) menyebutkan bahwa: “Lingkungan kerja yang kondusif baik lingkungan fisik, sosial maupun psikologis dapat menumbuhkan dan mengembangkan motif untuk bekerja dengan baik dan produktif. Untuk itu, dapat diciptakan lingkungan fisik yang sebaik mungkin, misalnya kebersihan ruangan, tata letak, fasilitas dan sebagainya. Demikian pula, lingkungan sosial-psikologis, seperti hubungan antar pribadi, kehidupan kelompok, kepemimpinan, pengawasan, promosi, bimbingan, kesempatan untuk maju, kekeluargaan dan sebagainya“.
Dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS, Depdiknas (2001) mengemukakan bahwa salah satu karakterististik MPMBS adalah adanya lingkungan yang aman dan tertib, dan nyaman sehingga proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan nyaman (enjoyable learning).
Pentingnya membangun budaya organisasi di sekolah terutama berkenaan dengan upaya pencapaian tujuan pendidikan sekolah dan peningkatan kinerja sekolah. Sebagaimana disampaikan oleh Stephen Stolp (1994) tentang School Culture yang dipublikasikan dalam ERIC Digest, dari beberapa hasil studi menunjukkan bahwa budaya organisasi di sekolah berkorelasi dengan peningkatan motivasi dan prestasi belajar siswa serta kepuasan kerja dan produktivitas kerja guru. Begitu juga, studi yang dilakukan Leslie J. Fyans, Jr. dan Martin L. Maehr tentang pengaruh dari lima dimensi budaya organisasi di sekolah yaitu : tantangan akademik, prestasi komparatif, penghargaan terhadap prestasi, komunitas sekolah, dan persepsi tentang tujuan sekolah. Budaya organisasi di sekolah juga memiliki korelasi dengan sikap guru dalam bekerja.
Upaya untuk mengembangkan budaya organisasi di sekolah terutama berkenaan tugas kepala sekolah selaku leader dan manajer di sekolah. Dalam hal ini, kepala sekolah hendaknya mampu melihat lingkungan sekolahnya secara holistik, sehingga diperoleh kerangka kerja yang lebih luas guna memahami masalah-masalah yang sulit dan hubungan-hubungan yang kompleks di sekolahnya. Melalui pendalaman pemahamannya tentang budaya organisasi di sekolah, maka ia akan lebih baik lagi dalam memberikan penajaman tentang nilai, keyakinan dan sikap yang penting guna meningkatkan stabilitas dan pemeliharaan lingkungan sekolah.
Berdasarkan pernyataan tersebut di atas penulis lebih lanjut tertarik untuk melakukan penelitian yang diformulasikan dalam sebuah judul penelitian yaitu “Pengaruh Budaya Organisasi dan Iklim Organisasi terhadap Produktivitas Kerja Guru di Sekolah Potensial ( Penelitian pada SMP Potensial Se Wilayah Sukaraja Kabupaten Tasikmalaya )”.

1.2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, menunjukan bahwa budaya organisasi dan iklim organisasi mempengaruhi terhadap peningkatan Produktivitas kerja guru pada sekolah potensial di Wilayah Sukaraja.


1.3. Rumusan Masalah
Pokok masalah yang diungkap dalam penelitian ini adalah Pengaruh Budaya Organisasi dan iklim organisasi terhadap Produktivitas Kerja Guru di Sekolah Potensial.
Selanjutnya pokok masalah tersebut penulis perinci ke dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaruh Budaya Organisasi terhadap Produktivitas kerja guru pada Sekolah Potensial di Wilayah Sukaraja ?
2. Bagaimana pengaruh Iklim Organisasi terhadap Produktivitas Kerja Guru Sekolah Potensial di Wilayah Sukaraja ?
3. Bagaimana korelasi Budaya Organisasi dan Iklim Organisasi terhadap Produktivitas kerja guru pada Sekolah Potensial di Wilayah Sukaraja.

1.4. Tujuan Penelitian
Maksud dari penelitian ini adalah untuk menggali dan mendapatkan informasi tentang budaya organisasi dan iklim organisasi serta pengaruhnya terhadap Produktivitas kerja guru di Sekolah Potensial. Mengacu pada inti permasalahan yang telah diperinci di atas maka tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui sampai sejauhmana pengaruh Budaya Organisasi terhadap Produktivitas Kerja Guru di Sekolah Potensial.
2. Untuk mengetahui sampai sejauhmana pengaruh iklim organisasi terhadap Produktivitas Kerja Guru di Sekolah potensial.

1.5. Kegunaan Penelitian
1.5.1 Kegunaan Praktis
Dengan memperhatikan tujuan dan maksud penelitian di atas maka kegunaan penelitian ini adalah :
1. Hasil penelitian ini bermanfaat dalam pengembangan ilmu, khususnya kajian tentang semangat guru, iklim organisasi dan juga budaya organisasi sehingga dapat dijadikan sebagai landasan dalam pencapaian target program kerja sekolah dan tujuan pendidikan.
2. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi instansi terkait khususnya di Sekolah Potensial dalam usaha meningkatkan pencapaian target program kerja sekolah dan peningkatan mutu pendidikan melalui peningkatan Produktivitas kerja guru di sekolah.



1.5.2. Kegunaan Ilmiah
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai penambah wawasan, referensi akademik dan bahan perbandingan dalam melaksanakan penelitian “Pengaruh Budaya Organisasi dan Iklim Organisasi terhadap Produktivitas Kerja guru di sekolah Potensial se Wilayah Sukaraja”.

















BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

2.1. Kajian Pustaka
2.1.1. Kajian Tentang Budaya Organisasi
A. Pengertian Budaya Organisasi
Pemahaman tentang budaya organisasi sesungguhnya tidak lepas dari konsep dasar tentang budaya itu sendiri, yang merupakan salah satu terminologi yang banyak digunakan dalam bidang antropologi. Dewasa ini, dalam pandangan antropologi sendiri, konsep budaya ternyata telah mengalami pergeseran makna. Sebagaimana dinyatakan oleh C.A. Van Peursen (1984) bahwa dulu orang berpendapat budaya meliputi segala manifestasi dari kehidupan manusia yang berbudi luhur dan yang bersifat rohani, seperti : agama, kesenian, filsafat, ilmu pengetahuan, tata negara dan sebagainya. Tetapi pendapat tersebut sudah sejak lama disingkirkan. Dewasa ini budaya diartikan sebagai manifestasi kehidupan setiap orang dan setiap kelompok orang-orang. Kini budaya dipandang sebagai sesuatu yang lebih dinamis, bukan sesuatu yang kaku dan statis. Budaya tidak tidak diartikan sebagai sebuah kata benda, kini lebih dimaknai sebagai sebuah kata kerja yang dihubungkan dengan kegiatan manusia. Dari sini timbul pertanyaan, apa sesungguhnya budaya itu ? Marvin Bower seperti disampaikain oleh Alan Cowling dan Philip James (1996), secara ringkas memberikan pengertian budaya sebagai “cara kita melakukan hal-hal di sini”. Menurut Vijay Santhe sebagaimana dikutip oleh Taliziduhu Ndraha (1997)_budaya adalah : “ The set of important assumption (often unstated) that members of community share in common”.
Secara umum namun operasional, Edgar Schein (2002) dari MIT dalam tulisannya tentang Organizational Culture & Leadership mendefinisikan budaya sebagai berikut :
“ A pattern of shared basic assumptions that the group learned as it solved its problems of external adaptation and internal integration, that has worked well enough to be considered valid and, therefore, to be taught to new members as the correct way you perceive, think, and feel in relation to those problems”.

Dari Vijay Sathe dan Edgar Schein, kita temukan kata kunci dari pengertian budaya yaitu shared basic assumptions atau menganggap pasti terhadap sesuatu. Taliziduhu Ndraha mengemukakan bahwa asumsi meliputi beliefs (keyakinan) dan value (nilai). Beliefs merupakan asumsi dasar tentang dunia dan bagaimana dunia berjalan. Duverger sebagaimana dikutip oleh Idochi Anwar dan Yayat Hidayat Amir (2000) mengemukakan bahwa belief (keyakinan) merupakan state of mind (lukisan fikiran) yang terlepas dari ekspresi material yang diperoleh suatu komunitas.
Value (nilai) merupakan suatu ukuran normatif yang mempengaruhi manusia untuk melaksanakan tindakan yang dihayatinya. Menurut Vijay Sathe dalam Taliziduhu (1997) nilai merupakan “ basic assumption about what ideals are desirable or worth striving for.” Sementara itu, Moh Surya (1995) memberikan gambaran tentang nilai sebagai berikut :
“ …setiap orang mempunyai berbagai pengalaman yang memungkinkan dia berkembang dan belajar. Dari pengalaman itu, individu mendapatkan patokan-patokan umum untuk bertingkah laku. Misalnya, bagaimana cara berhadapan dengan orang lain, bagaimana menghormati orang lain, bagimana memilih tindakan yang tepat dalam satu situasi, dan sebagainya. Patokan-patokan ini cenderung dilakukan dalam waktu dan tempat tertentu.”

Pada bagian lain dikemukakan pula bahwa nilai mempunyai fungsi : (1) nilai sebagai standar; (2) nilai sebagai dasar penyelesaian konflik dan pembuatan keputusan; (3) nilai sebagai motivasi; (4) nilai sebagai dasar penyesuaian diri; dan (5) nilai sebagai dasar perwujudan diri. Hal senada dikemukakan oleh Rokeach yang dikutip oleh Danandjaya dalam Taliziduhu Ndraha (1997) bahwa : “ a value system is learned organization rules to help one choose between alternatives, solve conflict, and make decision.”
Dalam budaya organisasi ditandai adanya sharing atau berbagi nilai dan keyakinan yang sama dengan seluruh anggota organisasi. Misalnya berbagi nilai dan keyakinan yang sama melalui pakaian seragam. Namun menerima dan memakai seragam saja tidaklah cukup. Pemakaian seragam haruslah membawa rasa bangga, menjadi alat kontrol dan membentuk citra organisasi. Dengan demikian, nilai pakaian seragam tertanam menjadi basic. Menurut Sathe dalam Taliziduhu Ndraha (1997) bahwa shared basic assumptions meliputi : (1) shared things; (2) shared saying, (3) shared doing; dan (4) shared feelings.
Pada bagian lain, Edgar Schein (2002) menyebutkan bahwa basic assumption dihasilkan melalui : (1) evolve as solution to problem is repeated over and over again; (2) hypothesis becomes reality, dan (3) to learn something new requires resurrection, reexamination, frame breaking.
Dengan memahami konsep dasar budaya secara umum di atas, selanjutnya kita akan berusaha memahami budaya dalam konteks organisasi atau biasa disebut budaya organisasi (organizational culture). Adapun pengertian organisasi di sini lebih diarahkan dalam pengertian organisasi formal. Dalam arti, kerja sama yang terjalin antar anggota memiliki unsur visi dan misi, sumber daya, dasar hukum struktur, dan anatomi yang jelas dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
Sejak lebih dari seperempat abad yang lalu, kajian tentang budaya organisasi menjadi daya tarik tersendiri bagi kalangan ahli maupun praktisi manajemen, terutama dalam rangka memahami dan mempraktekkan perilaku organisasi.
Edgar Schein (2002) mengemukakan bahwa budaya organisasi dapat dibagi ke dalam dua dimensi yaitu :
(1) Dimensi external environments; yang didalamnya terdapat lima hal esensial yaitu: (a) mission and strategy; (b) goals; (c) means to achieve goals; (d) measurement; dan (e) correction.
(2) Dimensi internal integration yang di dalamnya terdapat enam aspek utama, yaitu : (a) common language; (b) group boundaries for inclusion and exclusion; (c) distributing power and status; (d) developing norms of intimacy, friendship, and love; (e) reward and punishment; dam (f) explaining and explainable : ideology and religion.

Pada bagian lain, Edgar Schein mengetengahkan sepuluh karateristik budaya organisasi, mencakup :
(1) observe behavior: language, customs, traditions; (2) groups norms: standards and values; (3) espoused values: published, publicly announced values; (4) formal philosophy: mission; (5) rules of the game: rules to all in organization; (6) climate: climate of group in interaction; (7) embedded skills; (8) habits of thinking, acting, paradigms: shared knowledge for socialization; (9) shared meanings of the group; dan (10) metaphors or symbols.

Sementara itu, Fred Luthan (1995) mengetengahkan enam karakteristik penting dari budaya organisasi, yaitu : (1) obeserved behavioral regularities; yakni keberaturan cara bertindak dari para anggota yang tampak teramati. Ketika anggota organisasi berinteraksi dengan anggota lainnya, mereka mungkin menggunakan bahasa umum, istilah, atau ritual tertentu; (2) norms; yakni berbagai standar perilaku yang ada, termasuk di dalamnya tentang pedoman sejauh mana suatu pekerjaan harus dilakukan; (3) dominant values; yaitu adanya nilai-nilai inti yang dianut bersama oleh seluruh anggota organisasi, misalnya tentang kualitas produk yang tinggi, absensi yang rendah atau efisiensi yang tinggi; (4) philosophy; yakni adanya kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan keyakinan organisasi dalam memperlakukan pelanggan dan karyawan (5) rules; yaitu adanya pedoman yang ketat, dikaitkan dengan kemajuan organisasi (6) organization climate; merupakan perasaan keseluruhan (an overall “feeling”) yang tergambarkan dan disampaikan melalui kondisi tata ruang, cara berinteraksi para anggota organisasi, dan cara anggota organisasi memperlakukan dirinya dan pelanggan atau orang lain
Dari ketiga pendapat di atas, kita melihat adanya perbedaan pandangan tentang karakteristik budaya organisasi, terutama dilihat dari segi jumlah karakteristik budaya organisasi. Kendati demikian, ketiga pendapat tersebut sesungguhnya tidak menunjukkan perbedaan yang prinsipil.
Budaya organisasi dapat dipandang sebagai sebuah sistem. Mc Namara (2002) mengemukakan bahwa dilihat dari sisi in put, budaya organisasi mencakup umpan balik (feed back) dari masyarakat, profesi, hukum, kompetisi dan sebagainya. Sedangkan dilihat dari proses, budaya organisasi mengacu kepada asumsi, nilai dan norma, misalnya nilai tentang : uang, waktu, manusia, fasilitas dan ruang. Sementara dilihat dari out put, berhubungan dengan pengaruh budaya organisasi terhadap perilaku organisasi, teknologi, strategi, image, produk dan sebagainya.
Dilihat dari sisi kejelasan dan ketahanannya terhadap perubahan, John P. Kotter dan James L. Heskett (1998) memilah budaya organisasi menjadi ke dalam dua tingkatan yang berbeda. Dikemukakannya, bahwa pada tingkatan yang lebih dalam dan kurang terlihat, nilai-nilai yang dianut bersama oleh orang dalam kelompok dan cenderung bertahan sepanjang waktu bahkan meskipun anggota kelompok sudah berubah. Pengertian ini mencakup tentang apa yang penting dalam kehidupan, dan dapat sangat bervariasi dalam perusahaan yang berbeda : dalam beberapa hal orang sangat mempedulikan uang, dalam hal lain orang sangat mempedulikan inovasi atau kesejahteraan karyawan. Pada tingkatan ini budaya sangat sukar berubah, sebagian karena anggota kelompok sering tidak sadar akan banyaknya nilai yang mengikat mereka bersama. Pada tingkat yang terlihat, budaya menggambarkan pola atau gaya perilaku suatu organisasi, sehingga karyawan-karyawan baru secara otomatis terdorong untuk mengikuti perilaku sejawatnya. Sebagai contoh, katakanlah bahwa orang dalam satu kelompok telah bertahun-tahun menjadi “pekerja keras”, yang lainnya “sangat ramah terhadap orang asing dan lainnya lagi selalu mengenakan pakaian yang sangat konservatif. Budaya dalam pengertian ini, masih kaku untuk berubah, tetapi tidak sesulit pada tingkatan nilai-nilai dasar. Untuk lebih jelasnya lagi mengenai tingkatan budaya ini dapat dilihat dalam bagan 1.

Tak Tampak Sulit berubah
Nilai yang dianut bersama : Keyakinan dan tujuan penting yang dimiliki bersama oleh kebanyakan orang dalam kelompok yang cenderung membentuk perilaku kelompok, dan sering bertahan lama, bahkan walaupun sudah terjadi perubahan dalam anggota kelompok.
Contoh : para manajer yang mempedulikan pelanggan; eksekutif yang suka dengan pertimbangan jangka panjang.

Norma perilaku kelompok : cara bertindak yang sudah lazim atau sudah meresap yang ditemukan dalam satu kelompok dan bertahan karena anggota kelompok cenderung berperilaku dengan cara mengajarkan praktek-praktek (juga- nilai-nilai yang mereka anut bersama) kepada para anggota baru memberi imbalan kepada mereka yang menyesuaikan dirinya dan menghukum yang tidak.
Contoh : para karyawan cepat menanggapi permintaan pelanggan; para menajer yang sering melibatkan karyawan tingkat bawah dalam pengambilan keputusan.
Tampak Mudah berubah

Pada bagian lain, John P. Kotter dan James L. Heskett (1998) memaparkan pula tentang tiga konsep budaya organisasi yaitu : (1) budaya yang kuat; (2) budaya yang secara strategis cocok; dan (3) budaya adaptif. Organisasi yang memiliki budaya yang kuat ditandai dengan adanya kecenderungan hampir semua manajer menganut bersama seperangkat nilai dan metode menjalankan usaha organisasi. Karyawan baru mengadopsi nilai-nilai ini dengan sangat cepat. Seorang eksekutif baru bisa saja dikoreksi oleh bawahannya, selain juga oleh bossnya, jika dia melanggar norma-norma organisasi.
Gaya dan nilai dari suatu budaya yang cenderung tidak banyak berubah dan akar-akarnya sudah mendalam, walaupun terjadi penggantian manajer. Dalam organisasi dengan budaya yang kuat, karyawan cenderung berbaris mengikuti penabuh genderang yang sama. Nilai-nilai dan perilaku yang dianut bersama membuat orang merasa nyaman dalam bekerja, rasa komitmen dan loyalitas membuat orang berusaha lebih keras lagi. Dalam budaya yang kuat memberikan struktur dan kontrol yang dibutuhkan, tanpa harus bersandar pada birokrasi formal yang mencekik yang dapat menekan tumbuhnya motivasi dan inovasi.
Budaya yang strategis cocok secara eksplisit menyatakan bahwa arah budaya harus menyelaraskan dan memotivasi anggota, jika ingin meningkatkan kinerja organisasi. Konsep utama yang digunakan di sini adalah “kecocokan”. Jadi, sebuah budaya dianggap baik apabila cocok dengan konteksnya. Adapun yang dimaksud dengan konteks bisa berupa kondisi obyektif dari organisasinya atau strategi usahanya.
Budaya yang adaptif berangkat dari logika bahwa hanya budaya yang dapat membantu organisasi mengantisipasi dan beradaptasi dengan perubahan lingkungan, akan diasosiasikan dengan kinerja yang superiror sepanjang waktu. Ralph Klimann menggambarkan budaya adaptif ini merupakan sebuah budaya dengan pendekatan yang bersifat siap menanggung resiko, percaya, dan proaktif terhadap kehidupan individu. Para anggota secara aktif mendukung usaha satu sama lain untuk mengidentifikasi semua masalah dan mengimplementasikan pemecahan yang dapat berfungsi. Ada suatu rasa percaya (confidence) yang dimiliki bersama. Para anggotanya percaya, tanpa rasa bimbang bahwa mereka dapat menata olah secara efektif masalah baru dan peluang apa saja yang akan mereka temui. Kegairahan yang menyebar luas, satu semangat untuk melakukan apa saja yang dia hadapi untuk mencapai keberhasilan organisasi. Para anggota ini reseptif terhadap perubahan dan inovasi. Rosabeth Kanter mengemukakan bahwa jenis budaya ini menghargai dan mendorong kewiraswastaan, yang dapat membantu sebuah organisasi beradaptasi dengan lingkungan yang berubah, dengan memungkinkannya mengidentifikasi dan mengeksploitasi peluang-peluang baru. Contoh perusahaan yang mengembangkan budaya adaptif ini adalah Digital Equipment Corporation dengan budaya yang mempromosikan inovasi, pengambilan resiko, pembahasan yang jujur, kewiraswastaan, dan kepemimpinan pada banyak tingkat dalam hierarki.

B. Proses Pembentukan Budaya Organisasi
Selanjutnya, kita akan membicarakan tentang proses terbentuknya budaya dalam organisasi. Munculnya gagasan-gagasan atau jalan keluar yang kemudian tertanam dalam suatu budaya dalam organisasi bisa bermula dari mana pun, dari perorangan atau kelompok, dari tingkat bawah atau puncak. Taliziduhu Ndraha (1997) menginventarisir sumber-sumber pembentuk budaya organisasi, diantaranya : (1) pendiri organisasi; (2) pemilik organisasi; (3) Sumber daya manusia asing; (4) luar organisasi; (4) orang yang berkepentingan dengan organisasi (stake holder); dan (6) masyarakat. Selanjutnya dikemukakan pula bahwa proses budaya dapat terjadi dengan cara: (1) kontak budaya; (2) benturan budaya; dan (3) penggalian budaya. Pembentukan budaya tidak dapat dilakukan dalam waktu yang sekejap, namun memerlukan waktu dan bahkan biaya yang tidak sedikit untuk dapat menerima nilai-nilai baru dalam organisasi. Lebih jelasnya, proses pembentukan budaya ini dapat diragakan dalam bagan 2 berikut ini :

















Bagan 2. Pola Umum Munculnya Budaya Organisasi
(sumber : John P. Kotter. & James L. Heskett, 1998. Corporate Culture and Performance. (terj Benyamin Molan). Jakarta: PT Prehalindo, h.9)

Setelah mapan, budaya organisasi sering mengabadikan dirinya dalam sejumlah hal. Calon anggota kelompok mungkin akan disaring berdasarkan kesesuaian nilai dan perilakunya dengan budaya organisasi. Kepada anggota organisasi yang baru terpilih bisa diajarkan gaya kelompok secara eksplisit. Kisah-kisah atau legenda-legenda historis bisa diceritakan terus menerus untuk mengingatkan setiap orang tentang nilai-nilai kelompok dan apa yang dimaksudkan dengannya.
Para manajer bisa secara eksplisit berusaha bertindak sesuai dengan contoh budaya dan gagasan budaya tersebut. Begitu juga, anggota senior bisa mengkomunikasikan nilai-nilai pokok mereka secara terus menerus dalam percakapan sehari-hari atau melalui ritual dan perayaan-perayaan khusus. Orang-orang yang berhasil mencapai gagasan-gagasan yang tertanam dalam budaya ini dapat terkenal dan dijadikan pahlawan. Proses alamiah dalam identifikasi diri dapat mendorong anggota muda untuk mengambil alih nilai dan gaya mentor mereka. Barangkali yang paling mendasar, orang yang mengikuti norma-norma budaya akan diberi imbalan (reward) sedangkan yang tidak, akan mendapat sanksi (punishment). Imbalan (reward) bisa berupa materi atau pun promosi jabatan dalam organisasi tertentu sedangkan untuk sanksi (punishment) tidak hanya diberikan berdasar pada aturan organisasi yang ada semata, namun juga bisa berbentuk sanksi sosial. Dalam arti, anggota tersebut menjadi isolated di lingkungan organisasinya.
Dalam suatu organisasi sesungguhnya tidak ada budaya yang “baik” atau “buruk”, yang ada hanyalah budaya yang “cocok” atau “tidak cocok” . Jika dalam suatu organisasi memiliki budaya yang cocok, maka manajemennya lebih berfokus pada upaya pemeliharaan nilai-nilai- yang ada dan perubahan tidak perlu dilakukan. Namun jika terjadi kesalahan dalam memberikan asumsi dasar yang berdampak terhadap rendahnya kualitas kinerja, maka perubahan budaya mungkin diperlukan.
Karena budaya ini telah berevolusi selama bertahun-tahun melalui sejumlah proses belajar yang telah berakar, maka mungkin saja sulit untuk diubah. Kebiasaan lama akan sulit dihilangkan. Walaupun demikian, Howard Schwartz dan Stanley Davis dalam bukunya Matching Corporate Culture and Business Strategy yang dikutip oleh Bambang Tri Cahyono mengemukakan empat alternatif pendekatan terhadap manajemen budaya organisasi, yaitu : (1) lupakan kultur; (2) kendalikan disekitarnya; (3) upayakan untuk mengubah unsur-unsur kultur agar cocok dengan strategi; dan (4) ubah strategi. Selanjutnya Bambang Tri Cahyono (1996) dengan mengutip pemikiran Alan Kennedy dalam bukunya Corporate Culture mengemukan bahwa terdapat lima alasan untuk membenarkan perubahan budaya secara besar-besaran : (1) Jika organisasi memiliki nilai-nilai yang kuat namun tidak cocok dengan lingkungan yang berubah; (2) Jika organisasi sangat bersaing dan bergerak dengan kecepatan kilat; (3) Jika organisasi berukuran sedang-sedang saja atau lebih buruk lagi; (4) Jika organisasi mulai memasuki peringkat yang sangat besar; dan (5) Jika organisasi kecil tetapi berkembang pesat.
Selanjutnya Kennedy mengemukakan bahwa jika tidak ada satu pun alasan yang cocok dengan di atas, jangan lakukan perubahan. Analisisnya terhadap sepuluh kasus usaha mengubah budaya menunjukkan bahwa hal ini akan memakan biaya antara 5 sampai 10 persen dari yang telah dihabiskan untuk mengubah perilaku orang. Meskipun demikian mungkin hanya akan didapatkan setengah perbaikan dari yang diinginkan. Dia mengingatkan bahwa hal itu akan memakan biaya lebih banyak lagi. dalam bentuk waktu, usaha dan uang.

C. Penerapan Budaya Organisasi di Sekolah
Dengan memahami konsep tentang budaya organisasi sebagaimana telah diutarakan di atas, selanjutnya di bawah ini akan diuraikan tentang penerapan budaya organisasi dalam konteks persekolahan. Secara umum, penerapan konsep budaya organisasi di sekolah sebenarnya tidak jauh berbeda dengan penerapan konsep budaya organisasi lainnya. Kalaupun terdapat perbedaan mungkin hanya terletak pada jenis nilai dominan yang dikembangkannya dan karakateristik dari para pendukungnya. Berkenaan dengan pendukung budaya organisasi di sekolah Paul E. Heckman sebagaimana dikutip oleh Stephen Stolp (1994) mengemukakan bahwa "the commonly held beliefs of teachers, students, and principals."
Nilai-nilai yang dikembangkan di sekolah, tentunya tidak dapat dilepaskan dari keberadaan sekolah itu sendiri sebagai organisasi pendidikan, yang memiliki peran dan fungsi untuk berusaha mengembangkan, melestarikan dan mewariskan nilai-nilai budaya kepada para siswanya. Dalam hal ini, Larry Lashway (1996) menyebutkan bahwa “schools are moral institutions, designed to promote social norms,…” .
Nilai-nilai yang mungkin dikembangkan di sekolah tentunya sangat beragam. Jika merujuk pada pemikiran Spranger sebagaimana disampaikan oleh Sumadi Suryabrata (1990), maka setidaknya terdapat enam jenis nilai yang seyogyanya dikembangkan di sekolah. Dalam tabel 1 berikut ini dikemukakan keenam jenis nilai dari Spranger beserta perilaku dasarnya.

Tabel 1. Jenis Nilai dan Perilaku Dasarnya menurut Spranger
No Nilai Perilaku Dasar
1 Ilmu Pengetahuan Berfikir
2 Ekonomi Bekerja
3 Kesenian Menikmati keindahan
4 Keagamaan Memuja
5 Kemasyarakatan Berbakti/berkorban
6 Politik/kenegaraan Berkuasa/memerintah

Dengan merujuk pada pemikiran Fred Luthan, dan Edgar Schein, di bawah ini akan diuraikan tentang karakteristik budaya organisasi di sekolah, yaitu tentang (1) obeserved behavioral regularities; (2) norms; (3) dominant value. (4) philosophy; (5) rules dan (6) organization climate.
(1) Obeserved behavioral regularities; budaya organisasi di sekolah ditandai dengan adanya keberaturan cara bertindak dari seluruh anggota sekolah yang dapat diamati. Keberaturan berperilaku ini dapat berbentuk acara-acara ritual tertentu, bahasa umum yang digunakan atau simbol-simbol tertentu, yang mencerminkan nilai-nilai yang dianut oleh anggota sekolah.
(2) Norms; budaya organisasi di sekolah ditandai pula oleh adanya norma-norma yang berisi tentang standar perilaku dari anggota sekolah, baik bagi siswa maupun guru. Standar perilaku ini bisa berdasarkan pada kebijakan intern sekolah itu sendiri maupun pada kebijakan pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Standar perilaku siswa terutama berhubungan dengan pencapaian hasil belajar siswa, yang akan menentukan apakah seorang siswa dapat dinyatakan lulus/naik kelas atau tidak. Standar perilaku siswa tidak hanya berkenaan dengan aspek kognitif atau akademik semata namun menyangkut seluruh aspek kepribadian.

Jika kita berpegang pada Kurikulum Berbasis Kompetensi, secara umum standar perilaku yang diharapkan dari tamatan Sekolah Menengah Atas, diantaranya mencakup :

(a) Memiliki keyakinan dan ketaqwaan sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.
(b) Memiliki nilai dasar humaniora untuk menerapkan kebersamaan dalam kehidupan.
(c) Menguasai pengetahuan dan keterampilan akademik serta beretos belajar untuk melanjutkan pendidikan.
(d) Mengalihgunakan kemampuan akademik dan keterampilan hidup dimasyarakat local dan global.
(e) Berekspresi dan menghargai seni.
(f) Menjaga kebersihan, kesehatan dan kebugaran jasmani.
(g) Berpartisipasi dan berwawasan kebangsaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara demokratis. (Depdiknas, 2002)

Sedangkan berkenaan dengan standar perilaku guru, tentunya erat kaitannya dengan standar kompetensi yang harus dimiliki guru, yang akan menopang terhadap kinerjanya. Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional, pemerintah telah merumuskan empat jenis kompetensi guru sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Peraturan Pemerintah No 14 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yaitu :
(a) Kompetensi pedagogik yaitu merupakan kemampuan dalam pengelolaan peserta didik yang meliputi: (a) pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; (b) pemahaman terhadap peserta didik; (c)pengembangan kurikulum/ silabus; (d) perancangan pembelajaran; (e) pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis; (f) evaluasi hasil belajar; dan (g) pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
(b) Kompetensi kepribadian yaitu merupakan kemampuan kepribadian yang: (a) mantap; (b) stabil; (c) dewasa; (d) arif dan bijaksana; (e) berwibawa; (f) berakhlak mulia; (g) menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat; (h) mengevaluasi kinerja sendiri; dan (i) mengembangkan diri secara berkelanjutan.
(c) Kompetensi sosial yaitu merupakan kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk : (a) berkomunikasi lisan dan tulisan; (b) menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional; (c) bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik; dan (d) bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar.
(d) Kompetensi profesional merupakan kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang meliputi: (a) konsep, struktur, dan metoda keilmuan/teknologi/seni yang menaungi/koheren dengan materi ajar; (b) materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah; (c) hubungan konsep antar mata pelajaran terkait; (d) penerapan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari; dan (e) kompetisi secara profesional dalam konteks global dengan tetap melestarikan nilai dan budaya nasional.
(3) Dominant values; jika dihubungkan dengan tantangan pendidikan Indonesia dewasa ini yaitu tentang pencapaian mutu pendidikan, maka budaya organisasi di sekolah seyogyanya diletakkan dalam kerangka pencapaian mutu pendidikan di sekolah. Nilai dan keyakinan akan pencapaian mutu pendidikan di sekolah hendaknya menjadi hal yang utama bagi seluruh warga sekolah. Adapun tentang makna dari mutu pendidikan itu sendiri, Jiyono sebagaimana disampaikan oleh Sudarwan Danim (2002) mengartikannya sebagai gambaran keberhasilan pendidikan dalam mengubah tingkah laku anak didik yang dikaitkan dengan tujuan pendidikan. Sementara itu, dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (Depdiknas, 2001), mutu pendidikan meliputi aspek input, proses dan output pendidikan. Pada aspek input, mutu pendidikan ditunjukkan melalui tingkat kesiapan dan ketersediaan sumber daya, perangkat lunak, dan harapan-harapan. Makin tinggi tingkat kesiapan input, makin tinggi pula mutu input tersebut. Sedangkan pada aspek proses, mutu pendidikan ditunjukkan melalui pengkoordinasian dan penyerasian serta pemanduan input sekolah dilakukan secara harmonis, sehingga mampu menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable learning), mampu mendorong motivasi dan minat belajar, dan benar-benar mampu memberdayakan peserta didik. Sementara, dari aspek out put, mutu pendidikan dapat dilihat dari prestasi sekolah, khususnya prestasi siswa, baik dalam bidang akademik maupun non akademik.
Berbicara tentang upaya menumbuh-kembangkan budaya mutu di sekolah akan mengingatkan kita kepada suatu konsep manajemen dengan apa yang dikenal dengan istilah Total Quality Management (TQM), yang merupakan suatu pendekatan dalam menjalankan suatu unit usaha untuk mengoptimalkan daya saing organisasi melalui prakarsa perbaikan terus menerus atas produk, jasa, manusia, proses kerja, dan lingkungannya. Berkaitan dengan bagaimana TQM dijalankan, Gotsch dan Davis sebagaimana dikutip oleh Sudarwan Danim (2002) mengemukakan bahwa aplikasi TQM didasarkan atas kaidah-kaidah : (1) Fokus pada pelanggan; (2) obsesi terhadap kualitas; (3) pendekatan ilmiah; (4) komitmen jangka panjang; (5) kerjasama tim; (6) perbaikan kinerja sistem secara berkelanjutan; (7) diklat dan pengembangan; (8) kebebasan terkendali; kesatuan tujuan; dan (10) keterlibatan dan pemberdayaan karyawan secara optimal.
Dengan mengutip pemikiran Scheuing dan Christopher, dikemukakan pula empat prinsip utama dalam mengaplikasikan TQM, yaitu: (1) kepuasan pelanggan, (2) respek terhadap setiap orang; (3) pengelolaan berdasarkan fakta, dan (4) perbaikan secara terus menerus.(Sudarwan Danim, 2002)
Selanjutnya, dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Depdiknas (2001) telah memerinci tentang elemen-elemen yang terkandung dalam budaya mutu di sekolah, yakni : (a) informasi kualitas harus digunakan untuk perbaikan; bukan untuk mengadili/mengontrol orang; (b) kewenangan harus sebatas tanggung jawab; (c) hasil harus diikuti penghargaan (reward) atau sanksi (punishment); (d) kolaborasi dan sinergi, bukan kompetisi, harus merupakan basis kerja sama; (e) warga sekolah merasa aman terhadap pekerjaannya; (f) atmosfir keadilan (fairness) harus ditanamkan; (g) imbal jasa harus sepadan dengan nilai pekerjaannya; dan (h) warga sekolah merasa memiliki sekolah.
Di lain pihak, Jann E. Freed et. al. (1997) dalam tulisannya tentang A Culture for Academic Excellence: Implementing the Quality Principles in Higher Education. dalam ERIC Digest memaparkan tentang upaya membangun budaya keunggulan akademik pada pendidikan tinggi, dengan menggunakan prinsip-prinsip Total Quality Management, yang mencakup : (1) vision, mission, and outcomes driven; (2) systems dependent; (3) leadership: creating a quality culture; (4) systematic individual development; (4) decisions based on fact; (5) delegation of decision making; (6) collaboration; (7) planning for change; dan (8) leadership: supporting a quality culture. Dikemukakan pula bahwa “when the quality principles are implemented holistically, a culture for academic excellence is created.. Dari pemikiran Jan E.Freed et. al. di atas, kita dapat menarik benang merah bahwa untuk dapat membangun budaya keunggulan akademik atau budaya mutu pendidikan betapa pentingnya kita untuk dapat mengimplementasikan prinsip-prinsip Total Quality Management, dan menjadikannya sebagai nilai dan keyakinan bersama dari setiap anggota sekolah.
(4) Philosophy; budaya organisasi ditandai dengan adanya keyakinan dari seluruh anggota organisasi dalam memandang tentang sesuatu secara hakiki, misalnya tentang waktu, manusia, dan sebagainya, yang dijadikan sebagai kebijakan organisasi. Jika kita mengadopsi filosofi dalam dunia bisnis yang memang telah terbukti memberikan keunggulan pada perusahaan, di mana filosofi ini diletakkan pada upaya memberikan kepuasan kepada para pelanggan, maka sekolah pun seyogyanya memiliki keyakinan akan pentingnya upaya untuk memberikan kepuasan kepada pelanggan. Dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Depdiknas (2001) mengemukakan bahwa :
“ pelanggan, terutama siswa harus merupakan fokus dari semua kegiatan di sekolah. Artinya, semua in put - proses yang dikerahkan di sekolah tertuju utamanya untuk meningkatkan mutu dan kepuasan peserta didik . Konsekuensi logis dari ini semua adalah bahwa penyiapan in put, proses belajar mengajar harus benar-benar mewujudkan sosok utuh mutu dan kepuasan yang diharapkan siswa.”

(5) Rules; budaya organisasi ditandai dengan adanya ketentuan dan aturan main yang mengikat seluruh anggota organisasi. Setiap sekolah memiliki ketentuan dan aturan main tertentu, baik yang bersumber dari kebijakan sekolah setempat, maupun dari pemerintah, yang mengikat seluruh warga sekolah dalam berperilaku dan bertindak dalam organisasi. Aturan umum di sekolah ini dikemas dalam bentuk tata- tertib sekolah (school discipline), di dalamnya berisikan tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh warga sekolah, sekaligus dilengkapi pula dengan ketentuan sanksi, jika melakukan pelanggaran. Joan Gaustad (1992) dalam tulisannya tentang School Discipline yang dipublikasikan dalam ERIC Digest 78 mengatakan bahwa : “ School discipline has two main goals: (1) ensure the safety of staff and students, and (2) create an environment conducive to learning.
(6) Organization climate; budaya organisasi ditandai dengan adanya iklim organisasi. Hay Resources Direct (2003) mengemukakan bahwa “organizational climate is the perception of how it feels to work in a particular environment. It is the "atmosphere of the workplace" and people’s perceptions of "the way we do things here.”
Di sekolah terjadi interaksi yang saling mempengaruhi antara individu dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun sosial. Lingkungan ini akan dipersepsi dan dirasakan oleh individu tersebut sehingga menimbulkan kesan dan perasaan tertentu. Dalam hal ini, sekolah harus dapat menciptakan suasana lingkungan kerja yang kondusif dan menyenangkan bagi setiap anggota sekolah, melalui berbagai penataan lingkungan, baik fisik maupun sosialnya. Moh. Surya (1997) menyebutkan bahwa:
“ Lingkungan kerja yang kondusif baik lingkungan fisik, sosial maupun psikologis dapat menumbuhkan dan mengembangkan motif untuk bekerja dengan baik dan produktif. Untuk itu, dapat diciptakan lingkungan fisik yang sebaik mungkin, misalnya kebersihan ruangan, tata letak, fasilitas dan sebagainya. Demikian pula, lingkungan sosial-psikologis, seperti hubungan antar pribadi, kehidupan kelompok, kepemimpinan, pengawasan, promosi, bimbingan, kesempatan untuk maju, kekeluargaan dan sebagainya. “

C. Arti Penting Membangun Budaya Organisasi di Sekolah
Pentingnya membangun budaya organisasi di sekolah terutama berkenaan dengan upaya pencapaian tujuan pendidikan sekolah dan peningkatan kinerja sekolah. Sebagaimana disampaikan oleh Stephen Stolp (1994) tentang School Culture yang dipublikasikan dalam ERIC Digest, dari beberapa hasil studi menunjukkan bahwa budaya organisasi di sekolah berkorelasi dengan peningkatan motivasi dan prestasi belajar siswa serta kepuasan kerja dan produktivitas guru. Begitu juga, studi yang dilakukan Leslie J. Fyans, Jr. dan Martin L. Maehr tentang pengaruh dari lima dimensi budaya organisasi di sekolah yaitu : tantangan akademik, prestasi komparatif, penghargaan terhadap prestasi, komunitas sekolah, dan persepsi tentang tujuan sekolah menunjukkan survey terhadap 16310 siswa tingkat empat, enam, delapan dan sepuluh dari 820 sekolah umum di Illinois, mereka lebih termotivasi dalam belajarnya dengan melalui budaya organisasi di sekolah yang kuat. Sementara itu, studi yang dilakukan, Jerry L. Thacker and William D. McInerney terhadap skor tes siswa sekolah dasar menunjukkan adanya pengaruh budaya organisasi di sekolah terhadap prestasi siswa. Studi yang dilakukannya memfokuskan tentang new mission statement, goals based on outcomes for students, curriculum alignment corresponding with those goals, staff development, and building level decision-making. Budaya organisasi di sekolah juga memiliki korelasi dengan sikap guru dalam bekerja. Studi yang dilakukan Yin Cheong Cheng membuktikan bahwa “ stronger school cultures had better motivated teachers. In an environment with strong organizational ideology, shared participation, charismatic leadership, and intimacy, teachers experienced higher job satisfaction and increased productivity”.
Upaya untuk mengembangkan budaya organisasi di sekolah terutama berkenaan tugas kepala sekolah selaku leader dan manajer di sekolah. Dalam hal ini, kepala sekolah hendaknya mampu melihat lingkungan sekolahnya secara holistik, sehingga diperoleh kerangka kerja yang lebih luas guna memahami masalah-masalah yang sulit dan hubungan-hubungan yang kompleks di sekolahnya. Melalui pendalaman pemahamannya tentang budaya organisasi di sekolah, maka ia akan lebih baik lagi dalam memberikan penajaman tentang nilai, keyakinan dan sikap yang penting guna meningkatkan stabilitas dan pemeliharaan lingkungan belajarnya.

2.1.2. Iklim Organisasi
A. Pengertian Iklim Organisasi
Perilaku karyawan dapat diketahui dalam tabiat dan karakteristik tertentu merupakan pencerminan dari kepribarian orang yang bersangkutan. Kepribadian seseorang itu biasanya ditempa oleh beberapa faktor, salah satunya faktor lingkungan (Mangkunegara, 2004: 35).
Salah satu faktor yang berkaitan dengan kinerja karyawan dalam suatu organisasi adalah lingkungan kerja terutama lingkungan di tempat para stakeholders hidup dan berada. Lingkungan kerja yang dimaksud merupakan elemen-elemen atau kelompok-kelompok yang berpengaruh langsung pada organisasi dan pada gilirannya akan dipengaruhi oleh organisasi (Hunger dan Whelen, 2001: 113).
Iklim organisasi adalah iklim kerja yang diciptakan dan dikembangkan secara sengaja, terjamin dan mendapat perlindungan dalam bekerja (Nawawi, 2001: 244). Siagian (2001: 63) menjelaskan iklim organisasi sebagai kondisi kerja yang bersifat fisik dan non fisik dari lingkungan kerja yang turut berpengaruh terhadap perilaku dan yang menjadi faktor motivasional yang perlu mendapat perhatian setiap pemimpin dalam organisasi.
Dengan demikian, dapat disimpulkan mengenai iklim organisasi adalah kondisi lingkungan kerja, baik yang bersifat material/ fisik maupun non material/ non fisik yang dapat mempengaruhi perilaku/ kinerja karyawan di dalam suatu organisasi.
B. Komponen-komponen Iklim Organisasi
Lingkungan kerja yang dihadapi oleh setiap menejer tidak hanya bersifat fisik dan alamiah semata-mata. Namun, pada umumnya apabila berbicara dengan lingkungan yang dimaksud adalah totalitas keadaan dan faktor yang mempunyai dampak tertentu terhadap organisasi. Dengan perkataan lain, komponen-komponen lingkungan itu biasanya terdiri dari paling sedikit lima hal, yaitu: (a) faktor ekenomi; (b) faktor social; (c) faktor fisik; (d) faktor politik; (e) factor teknologi (Siagian, 1988: 31). Lingkungan kerja merupakan elemen-elemen atau kelompok yang berpengaruh langsung pada organisasi (sekolah) dan pada gilirannya akan dipengaruhi oleh organisasi (sekolah) (Huger dan Whelen, 1996: 113). Kelompok ini terdiri dari pemerintah, komunitas local, pemasok, pesaing, pelanggan, kreditur, tenaga kerja, kelompok kepentingan khusus dan asosiasi perdagangan. Lingkungan kerja perusahaan pada umumnya adalah industri tempat perusahaan tersebut dioprasikan.
Secara garis besar, iklim organisasi dapat dikelompokan menjadi dua bagian yaitu kondisi kerja yang bersifat fisik/ material dan kondisi kerja yang bersifat non fisik/ non material. Untuk kondisi kerja yang bersifat kerja meliputi kelompok-kelompok sebagai berikut:
“(a) penerangan/ cahaya di tempat kerja; (b) temperature/ suhu udara di tempat kerja; (c) kelembaban di tempat kerja ; (d) sirkulasi udara di tempat kerja; (e) kebisingan di tempat kerja; (f) getaran mekanis di tempat kerja; (g) bau tidak sedap di lingkungan kerja; (h) tata warna di tempat kerja; (i) dekorasi di tempat kerja; (j) musik di tempat kerja; (k) keamanan di tempat kerja” (Sedarmayanti, 2000: 23)
Berikut ini akan di uraikan masing-masing faktor tersebut berkaitan dengan kemampuan manusia.
a. Penerangan/ cahaya ditempat kerja
Cahaya atau penerangan sangat besar manfaatnya bagi pegawai untuk mendapatkan keselamatan dan kelancaran kerja. Oleh karena itu, perlu diperhatikan adanya penerangan yang terang, tetapi tidak menyilaukan. Cahaya yang kurang jelas mengakibatkan penglihatan menjadi kurang jelas sehingga pekerjaan akan terlambat, banyak mengalami kesalahan, dan pada akhirnya kurang efisien dalam melaksanakan pekerjaan sehingga tujuan organisasi sulit di capai.
b. Temperatur/ suhu udara di tempat kerja
Dalam keadaan normal, setiap tubuh manusia mempunyai temperatur yang berbeda. Tubuh manusia selain berusaha untuk mempertahankan keadaan normal dengan suatu sistem tubuh yang sempurna sehingga dapat menyesuikan diri dengan perubahan yang terjadi di luar tubuh, tetapi untuk menyesuaikan diri tersebut ada batasnya yaitu tubuh manusia masih dapat menyesuaikan dirinya dengan temperatur luar jika perubahan temperatur luar tubuh lebih dari 20% untuk kondisi panas dan 35% untuk kondisi dingin dari keadaan normal tubuh.
c. Kelembaban ditempat kerja
Kelembaban adalah banyaknya air yang terkandung dalam udara, biasanya dinyatakan dengan persentase. Kelembaban ini berhubungan atau dipengaruhi oleh temperatur udara, dan bersama-sama antara temperatur, kelebaban, kecepatan udara bergerak dan radiasi panas dari udara tersebut akan mempengaruhi keadan tubuh manusia pada saat menerima atau melepaskan panas dari tubuhnya. Suatu keadaan dengan suhu udara panas dan kelembaban tinggi akan menimbulkan pengurangan panas dari tubuh secara besar-besaran, karena sitem penguapan. Pengaruh lain adalah semakin cepatnya darah untuk memenuhi kebutuhan semakin aktif pula pendarahan untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan tubuh manusia selalu berusaha untuk mencapai keseimbangan antara panas tubuh dengan suhu di sekitarnya.


d. Sirkulasi udara di tempat kerja
Oksigen merupakan gas yang dibutuhkan oleh makhluk hidup untuk menjaga kelangsungan hidup yaitu untuk proses metabolisme. Udara di sekitar dikatakan kotor apabila kadar oksigen dalam udara tersebut telah berkurang dan telah bercampur gas amoniak atau bau-bauan berbahaya bagi kesehatan tubuk. Kotornya udara dapat dirasakan dengan sesek napas dan hal ini tidak boleh dibiarkan nerlangsung terlalu lama, karena akan mempengaruhi kesehatan tubuh dan akan mempercepat proses kelelahan.
e. Kebisingan di tempat kerja
Salah satu penyebab polusi yang cukup menyibukan para pakar untuk mengatasinya adalah kebisingan, yaitu bunyi yang tidak dikehendaki oleh telinga. Tidak dikehendaki karena terutama jangka panjang bunyi tersebut dapat mengganggu ketenangan bekerja, merusak pendengaran dan dapat menimbulkan kesalahan komunikasi. Bahkan menurut penelitian, kebisingan yang serius dapat menyebabkan kematian. Karena pekerjaan membutuhkan konsentrasi, maka suara bising hendaknya dihindarkan agar pelaksanaan pekerjaan dapat dilakukan dengan efisien sehingga Produktivitas kerja meningkat.

f. Getaran mekanis di tempat kerja
Getaran mekanis artinya getaran yang ditimbulkan oleh alat mekanis, yang sebagian dari getaran ini sampai ke tubuh pegawai dan dapat menimbulkan akibat yang tidak diinginkan. Besarnya getaran ditentukan oleh intensitas dan frekuensi getarannya. Getaran mekanis pada umumnya sangat mengganggu tubuh karena ketidak teraturannya, baik tidak teratur dalam intensitas maupun frekuensinya. Sedangkan alat yang ada dalam tubuh mempunyai prekuensi alami, di mana alat yang satu berbeda frekuensi alaminya dengan alat yang lain. Gangguan terbesar terhadap suatu alat dalam tubuh terjadi apabila frekuensi alam ini beresonansi dengan frekuensi dari getaran mekanis.
g. Bau tidak sedap di tempat kerja
Adanya bau-bauan disekitar tempat kerja dapat dianggap sebagai pencemaran, karena dapat mengganggu kosentrasi bekerja dan bau-bauan yang terjadi terus menerus dapat mempengaruhi kepekaan penciuman. Pemakaian AC yang telah merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk menghilangkan bau tak sedap yang mengganggu disekitar tempat kerja.

` h. Tata warna di tempat kerja
Menata warna di tempat kerja perlu dipelajari dan direncanakkan dengan sebaik-baiknya. Pada kenyataanya tata warna tidak dapat dipisahkan dengan penataan dekorasi. Hal ini dapat dimaklumi karena warna mempunyai pengaruh terhadap perasaan. Sifat dan pengaruh warna kadang-kadang menimbulkan rasa senang, sedih, dll. Karena sifat warna dapat merangsang perasaan manusia.
i. Dekorasi di tempat kerja
Dekorasi ada hubungannya dengan tata warna yang baik, karena itu dekorasi tidak hanya berkaitan dengan hiasan ruangan kerja saja, tetapi berkaitan juga dengan cara mengatur tata letak, tata warna, perlengkapan dan lainnya untuk bekerja.
j. Musik di tempat kerja
Menurut para pakar, musik yang nadanya lembut sesuai dengan suasana, waktu dan tempat dapat membangkitkan dan merangsang pegawai untuk bekerja. Oleh karena itu, lagu-lagu perlu dipilih dengan selektif untuk dibunyikan di tempat kerja. Tidak sesuainya musik yang diperdengarkan di tempat kerja akan mengganggu kosenrasi kerja.


k. Keamanan di tempat kerja
Untuk menjaga tempat dan kondisi lingkungan kerja tetap dalam keadaan aman, maka perlu diperhatikan adanya keamanan dalam bekerja. Oleh karena itu faktor keamanan perlu diwujudkan keberadaannya. Salah satu upaya untuk menjaga keamanan di tempat kerja, dapat memanfaatkan jasa satuan petugas keamanan (satpam). Sejalan dengan pendapat tersebut, Siagian (2001: 63-64) mengkaitkan iklim organisasi dengan hal-hal yang bersifat fisik dari lingkungan kerja.
Komponen-komponen fisik iklim organisasi yang dimaksud adalah:
a. Bangunan tempat bekerja yang di samping menarik untuk dipandang juga dibangun dengan mempertimbangan keselamatan kerja.
b. Ruangan kerja yang “lega” dalam arti penempatan orang dalam suatu ruangan tidak mengakibatkan timbulnya perasaan sempit dan para karyawan disusun seperti “sardencis dalam kaleng”.
c. Ventilasi untuk keluar masuk udara yang segar.
d. Tersedianya peralatan kerja yang memadai.
e. Tersedianya tempat istirahat untuk melepas lelah, seperti
f cafeteria dan restoran, baik dalam lingkungan organisasi sekitarnya yang mudah dicapai para karyawan.
g. Tersedianya tempat melakukan ibadah keagamaan, seperti mushola atau mesjid, baik di komplek organisasi yang bersangkutan maupun disekitarnya.
H. Tersedianya sarana angkutan, baik yang khusus diperuntukan bagi karyawan maupun angkutan umum yang nyaman, murah dan mudah diperoleh.
Iklim organisasi yang bersifat non fisik / non material antar lain mengenai: (1) hubungan kerja antara atasan dengan bawahan, antara sesama karyawan / pegawai, (2) pembidangandan pembagian pekerjaan, (3) pembinaan dan pengembangan kerjasama serta persaingan yang sehat, (4) perilaku pimpinan yang bebas dari diskriminasi, kolusi korupsi dan nepotisme, dll (Nawawi 2000:259).
C. Aspek-aspek Iklim Organisasi
Pengembangan organisasi pada umumnya bergerak pada ruang lingkup peningkatan, penyempurnaan, perbaikan dan pengembangan kemampuan, sikap, nilai-nilai dan wawasan SDM dalam bekerja termasuk manajer puncak dan para manejer pembantunya agar lebih efektif, efesien, produktif dan berkualitas dalam melaksanakan tugas pokonya masing-masing di dalam suatu organisasi.
Pada prinsipnya pengembangan organisasi berfokus pada peningkatan, perbaikan dan penyempurnaan kemampuan SDM dalam melaksanakan tugas-tugas pokoknya di lingkungan organisasi, akan berlangsung efektif dan efisien apabila diiringi dengan penciptaan iklim lingkungan kerja yang berkualitas bagi setiap dan semua SDM di lingkungannya. Berdasarkan prinsip tersebut menurut Wayne Cascio (dalam Nawawi, 2000:252) terdapat beberapa aspek iklim lingkungan kerja terdiri dari:
1. Pemberian upah / gaji dan insentif lainnya yang layak (good pay and benefits) baik untuk memenuhu kebutuhan fisik minimal maupun untuk kebutuhan hidup minimal. Tanpa upah/gaji yang layak sulit untuk mengharapkan atau bahkan memaksa SDM agar memberikan kontribusi maksimal dalam melaksanakan tugas pokoknya. Kebutuhan fisik minimal sama pada semua manusia termasuk juga bagi SDM yang bekerja dilingkungan organisasi non profit. Untuk itu gaji atau upah sebagai penghargaan atau pembanyaran atas jasa-jasanya dalam bekerja, jumlahnya harus mencukupi kebutuhan fisik atau biologis, seperti makan untuk mendapatkan energi dalam bekerja, pakaian dan perumahan untuk perlindungan dalam menjalani kehidupan.
2. Supervisi yang baik (good supervision)
Supervisi sebagai kegiatan mengamati, menilai dan membantu SDM agar bekerja secara efektif dan efisien, merupakan salah satu kegiatan pengembangan organisasi (PO), karena bertujuan untuk terus-menerus memperbaiki, meningkatkan menyempurnakan keterampilan dalam bekerja.

3. Pekerjaan yang menyenangkan
Teori motivasi tentang perilaku manusia secara prinsip bertolak dari asumsi dasar bahwa “seseorang hanya akan mengerjakan sesuatu yang menyenangkan, dan tidak akan mengerjakan sesuatu yang tidak menyenangkan”. Asumsi dasar itu sangat penting dalam melaksanakan kegiatan PO di lingkungan organisasi sebagai hasil pengimplementasian iklim lingkungan kerja yang berkualitas. Pekerjaan yang menyenangkan adalah bebas dari tekanan dan paksaan, disamping mudah atau tudak rumit melaksanakannya. Namun pekerjaan yang berat dan kompleks juga akan menyenangkan jika dalam suasana kerja yang saling membantu dalam suasana kerja yang efektif dan efisien. Selanjutnya pekerjaan juga akan menyenangkan jika sarana dan prasarana untuk melaksanakannya tersedia dalam jumlah yang cukup dan selau siap untuk digunakan.
Susana kerja atau pekerjaan yang menyenangkan tidak saja akan memberikan rasa puas dalam bekerja, tetapi juga akan menimbulkan motivasi yang tinggi untuk memperbaiki, mengembangkan dan mengingkatkan keterampilan atau keahlian kerja sebagai wujud pelaksanaan PO.
4. Pekerjaan yang menantang
Motivasi kerja tidak saja timbul karena pekerjaan yang menyenangkan, tetapi juga yang menangtang untuk mencapai suatu prestasi sebagai bentuk kesuksesan kerja yang diinginkan olen setiap pekerja. Dalam kata lain pekerjaan yang menantang cenderung akan menimbulkan motivasi berprestasi melalui kemampuan berkompetisi secara sehat dalam arti jujur dan sportif sejalan dengan kemampuan bekerja sama yang efektif dan efisien. Kompetisi dan kerjasama di lingkungan organisasi yang sehat ibarat dua sisi pada mata uang yang sama.
5. Pekerjaan yang menarik
Setiap SDM akan menyenangi Pekerjaan dalam bidang yang sesuai dengan potensi, latar belakang pengalaman, pendidikan, keterampilan dan keahlian atau profesionalisme yang dikuasainya. Kesesuaian itu membuat pekerjaannya dirasakan menarik, karena mencakup sesuatu yang sudah dikenal dan dipahaminya
6. Kondisi kerja yang baik
Perasaan puas dan senang dalam bekerja di lingkungan organisasi sangat dipengaruhi oleh kondisi kerja, baik yang bersifat fisik / material maupun psikis/ non material. Kondisi kerja yang bersifat fisik menyangkut faktor sarana dan prasarana seperti luas ruangan, penerangan, pengturan pentilasi udara, penataan ruangan termasuk penataan peralatan, warna dinding, ketersediaan perlengkapan dan peralatan kerja baik. Faktor psikis antara lain mengenai hubungan kerja antara atasan dengan bawahan, antara sesama karyawan/ pegawai, pembidangan dan pembagian pekerjaan, pembinaan dan pengembangan kerja sama dan perdaingan yang sehat, perilaku pimpinan yang bebas dari deskriminasi, kolusi, korupsi, nepotisme dll. Kondisi kerja yang baik berkenaan kedu faktor tersebut diatas merupakan faktor yang mendukung dalam memberikan kontribusi untuk mewujudkan eksistansi organisasi melalui pelaksanaan tugas masing-masing secara efektif dan efisien. Dengan kata lain kondisi kerja yang baik merupakan wujud dari eksistansi organisasi yang baik atau sehat akan berdampak terhadap produktivitas kerja

2.1.3. Produktivitas Kerja
A. Pengertian produktivitas kerja
Konsep produktivitas pada awalnya dilakukan oleh seorang ekonom berkebangsaan Prancis bernama Quesney pada tahun 1776 (Akhmad, 2000: 34). Oleh karena itu, sangat wajar apabila pengertian produktivitas senantiasa dikaitkan dengan perolehan nilai ekonomis dari suatu kegiatan yakni bagaimana upaya untuk mencapai hasil sebesar mungkin dengan menggunakan sumberdaya sekecil-kecilnya. Dalam Ensyclopedia Britania (dalam Akhmad, 2000: 34) pengertian produktivitas dikemukakan sebagai berikut: “Produktivitas dalam kegiatan ekonomi berarti rasio dari hasil yang dicapai dengan pengorbanan yang dikeluarkan untuk menghasilkan sesuatu”.
Ravianto (1999: 14) mendefinisikan pengertian produktivitas sebagai berikut: “(1) Derajat efisiensi dan efektivitas dari penggunaan elemen produksi; dan (2) Di atas segalanya, merupakan sikap netral yang senantiasa mencari perbaikan terhadap apa yang telah ada”.
Dalam perkembangan selanjutnya, produktivitas diartikan sangat beragam bergantung pada fokus tujuannya. Kuper (dalam Safuri, 1999: 68) menyatakan bahwa “Produktivitas adalah perpaduan antara efektivitas dan efesiensi”.
Pernyataan tersebut di atas dijabarkan lebih rinci oleh Sumath (1989: 2) yang menyatakan: Produktivity is measure of the use of the resources of an organizational and is usually expressed as ratio of: the output abtained by the us of resources the amount of resources employed.
Sumant menegaskan dalam pernyataan di atas bahwa produktivitas adalah pengukuran terhadap pengaruh sumberdaya dalam suatu organisasi dan biasanya menjelaskan perbandingan dari hasil yang diperoleh dari penggunaan sumberdaya dengan jumlah sumberdaya yang diperlukan.
Nawawi dan Martini (2000:36) mengemukakan pengertian produktivitas sebagai berikut:
(1) Produktivitas kerja adalah perbandingan antara hasil yang diperoleh (output) dengan sumberdaya yang digunakan (input). Produktivitas kerja dinyatakan tinggi jika hasil yang diperoleh lebih tinggi daripada sumberdaya yang dipergunakan. Hasil yang dicapai tidak saja sekedar dihitung dengan jumlah dan mutu sesuatu yang dihasilkan, tetapi juga dari segi banyaknya manfaat dari pihak lain; dan
(2) Produktivitas kerja yang diukur dari daya guna penggunaan personal sebagai tenaga kerja. Produktivitas ini digambarkan dari ketepatan penggunaan metode atau cara kerja dan alat-alat yang tersedia, sehingga volume dan beban kerja dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang tersedia. Dari produktivitas kerja ini juga diperoleh gambarannya dari dedikasi, loyalitas, kesungguhan, disiplin, ketepatan penggunaan metode,dan sebagainya yang tampak selama pegawai melaksanakan volume dan beban kerjanya.

Manulang (dalam Cahyono, 1999: 5) mengungkapkan produktivitas kerja sebagai berikut: “Produktivitas kerja adalah suatu sikap mental yang selalu mempunyai pandangan bahwa mutu kehidupan hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan hari esok harus lebih baik dari hari ini”.
Pandangan lain dikemukakan Engkoswara (1995: 25) produktivitas kerja dari dua sudut pandang yang berbeda, yakni “Efektivitas dalam pelaksanaan kerja dan efesiensi dalam penggunaan sumberdaya yang tersedia”. Untuk lebih jelasnya perhatikan kutipan dibawah ini:
1) Sudut pandang pertama berkaitan dengan pencapaian unjuk kerja yang maksimal dalam arti pencapaian target yang berkaitan dengan kualitas, kuantitas dan waktu. Dan
2) Sudut pandang kedua merujuk pada upaya membandingkan masukan dengan realitas penggunaan atau bagaimana pekerjaan itu dilakukan.

Demikian pula Gomes (1999: 159) mendefinisikan pengertian produktivitas sebagai berikut:
Produktivitas kerja merupakan fungsi perkalian dari usaha pegawai (effort) yang didukung dengan motivasi yang tinggi dengan kemampuan pegawai (ability) yang diperoleh melalui pelatihan. Produktivitas kerja yang meningkatkan berarti berformasi yang baik, akan menjadi umpan balik (feedback) bagi usaha atau motivasi pegawai pada tahapan berikutnya.

Sedarmayanti, (2002: 56-57) merumuskan tentang produktivitas yaitu “Sikap mental yang mempunyai semangat untuk melakukan peningkatan perbaikan”. Peningkatan berbaikan akan menimbulkan sikap produktif yang meliputi: (a) motivasi, (b) disiplin, (c) kreatif, (d) inovatif, (e) dinamis, (f) professional, dan (g) berjiwa besar.
Berdasrkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa produktivitas kerja merupakan rasio antara efetivitas dan efesiensi dari berbagai sumberdaya yang ditunjukan untuk mencapai keluaran organisasi semaksimal mungkin dengan biaya seminimal mungkin dalam suatu satuan waktu tertentu dan memiliki kualitas hasil tertentu pula. Produktivitas kerja individu adalah perbandingan dari efektivitas keluaran (pencapaian unjuk kerja yang maksimal) dengan efisiensi salah satu masukan (tenaga kerja) yang mencakup kuantitas dan kualitas dalam satu waktu tertentu.
B. Produktivitas kerja guru
Apabila produktivitas merupakan tujuan, maka perlu dipahami makna produiktivitas kerja itu sendiri. Sutermeister (1976: 10) membatasi produkitivitas sebagai ukuran “Kuantitas kualitas kinerja dengan mempertimbangkan kemanfaatan sumber daya. Produktivitas itu sendiri dipengaruhi perkembangan bahan, teknologi dan kemampuan manusia”. Penertian produktivitas dalam arti teknis mengacu kepada derajat keefektifan, efisiensi dalam penggunaan suber daya. Dalam pengertian perilaku, produktivitas merupakan sikap mental yang senantiasa berusaha untuk terus berkembang.
Berdasarkan pengertian teknis produktivitas dapat diukur dengan dua standar utama, yaitu produktivitas fisik dan produktivitas nilai. Secara fisik produktivitas diukur secara kuantitatif seperti banyaknya keluaran (panjang, berat, lamanya waktu dan jumlah). Berdasarkan nilai, produktivitas diukur atas dasar nilai-nilai kemampuan, sikap, perilaku disiplin, motivasi dan komitmen terhadap pekerjaan atau tugas. Oleh karena itu mengukur produktivitas tidak mudah di samping banyaknya varibel juga ukuran yang digunakan sangat bervariasi.
Mali (dalam Moekijat, 1999: 15) misalnya mengukur produktivitas berdasarkan kombinasi antara efektivitas dan efisiensi. Efektivitas dikaitkan dengan perfonmance dan efisiensi dikaitkan dengan penggunaan sumber-sumber. Indek produktivitas diukur berdasarkan perbandingan atau rasio antara pencapaian performance dengan sumber-sumber yang dialokasikan.
Indek – Produktivitas =
Vroom (dalam Fattah, 2002: 16) hampir sejalan dengan Sutermeister dalam menggunakan formula di man produktivitas diartikan sebagai prestasi kerja. Formula yang digunakan adalah sebagai berikut:
P = f (M x K)
P : Prestasi kerja
M : Motivasi berpretasi
K : Kemampuan
Jadi, menurut Vroom, produktivitas kerupakan fungsi dari motivasi dikalikan kemampuan, artinya tinggi rendahnya produktivitas dipengruhi oleh faktor motivasi dan kemampuan.
Secara khusus di bidang pendidikan formal, Thomas (1976: 12) mengartukan produktivitas sekolah ditentukan oleh tiga fungsi utama, yaitu: “(1) Fungsi administrasi, (2) Fungsi psikologi, (3) Fungsi ekonomi”. Ke tiga fungsi tersebut secara linier menentukan tinggi rendahnya tingkat produktivitas sekolah.
Dengan demikian, produktivitas organisasi (total productivity) secara lebih luas mengidentifikasikan keberhasilan dan atau kegagalan dalam menghasilkan suatu produk tertentu (barang atau jasa) secara kuantitas dan kualitas dengan memanfaatkan sumber-sumber yang benar. Produktivitas berkaitan dengan pelaksanaan tugas-tugas dengan cara terbaik. Produktivitas merupakan kriteria, pencapaian kerja yang diterapkan kepada individu, kelompok atau organisasi. Sebaliknya produktivitas tidak hanya memerlukan kreativitas. Tetapi menurut Gilmore, (dalam Fattah, 2002: 15) dalam produktivitas terdapat tiga aspek , yaitu: prestasi akademis, kreativitas dan kepemimpinan. Seseorang yang intelegensinya tinggi mempunyai kecenderungan kreatif, berprestasi dan akhirnya akan produktif.
Dalam dunia pendidikan produktivitas sekolah banyak ditentukan oleh kemampuan manajerial tenaga kependidikan atau manajemen personalia pendidikan. Manajemen personalia itu sendiri bertujuan untuk mendayagunakan tenaga kepandidikan secara efektif dan efisien untuk mencapai hasil yang optimal, namun dalam kondisi yang menyengkan. Fungsi personalia yang harus dilaksanakan pimpinan yaitu: dengan cara menarik, mengembangkan, mengkaji dan memotivasi personil guna mencapai tujuan.
Produktivitas berkaitan erat dengan kinerja sebagai wujud perilaku atau kegiatan yang dilaksanakan sesuai dengan harapan dan kebutuhan yang hendak dicapai secara efektif dan efisien. Standar kinerja perlu dirumuskan sebagai acuan dalam mengadakan perbandingan terhadap apa yang akan dicapai dengan apa yang diharapka. Adapun yang menjadi patokan adalah:
a. Produksi yang mengacu pada ukuran
b. Efisiensi mengacu kepada penggunaan sumberdaya
c. Kepuasan mengacu kepada keberhasilan dalam memenuhi kebutuhan karyawa atau anggota organisasi.
d. Keadaptasian mengacu kepada ukuran tanggapan terhadap perubahan
Hasil produk atau output dari produktivitas lembaga pendidikan sebagai berikut: Kriteria keberhasilan dalam administrari pendidikan dapat dilihat dari efektivitas dan efesiensi terhadap produktivitas pendidikan efektivitas yaitu: kesepadanan antara masukan yang merata dan keluaran yang banyak dan bermutu tinggi atau keluaran yang relevan dengan kebutuhan pembangunan bangsa. Efesiensi adalah menunjuk pada motivasi belajar yang tinggi, semangat belajar, kepercayaan berbagai pihak dan pembayaran, waktu dan tenaga, yang sekecil mungkin dengan hasil yang sebesar-besarnya.
Berkaitan dengan analisis penelitian ini secara aplikatif kriteria keberhasilan produktivitas pendidikan akan menjadi standar ukuran sebagai wujud produktivitas kinerja guru.
Dalam dunia pendidikan, produktivitas kerja sangat berhubungan dengan keseluruhan proses penataan dan penggunaan sumberdaya untuk mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien. Penataan sumberdaya ini secara jelas dikemukakan Allan (1971: 12-23) sebagai berikut:
Produktivitas kerja dalam pendidikan mencakup tiga fungsi yaitu:
1) The Administrator Production Function (PFI), yakni suatu fungsi manajerial yang berhubungan dengan pelbagai pelayanan untuk kebutuhan siswa dan guru. Masukan diidetifikasi sebagai perlengkapan mengajar, ruangan, buku dan kualifikasikan mengajar yang memungkinkan tercapainya pelaksanaan pendidikam yang baik. Sedangkan keluarnya antara lain meliputi lama tahun dan lama jam mengajar,
2) The Psychologist’s Production Function (PPF), yakni suatu fungsi perilaku (behavioral) yang keluarannya mengacu pada fungsi pelayanan yang dapat mengubah perilaku siswa dalam kemampuan kognisi, keterampilan, dan sikap. Masukannya diidentifikasikan antara lain waktu mengajar, sakap dan kecakapan guru serta fasilitas, dan
3) The Ekonomic Production Funtion (EPF), yakni suatu fungsi ekonomi yang keluarnya diidentifikasikan sebagai lulusan yang memiliki kompetensi tinggi, sehingga apabila siswa sudah bekerja dapat memperoleh penghasilan yang tinggi melebiki biaya pendidikan yang dikeluarkannya. Masukannya adalah semua biaya yang dikeluarkan selama pendidikan.

Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa produktivitas kerja pendidikan dapat ditinjau dari sudut fungsi administrasi, fungsi psikologis maupun fungsi ekomomis . produktivitas kerja dalam dunia pendidikan tentu akan sangat berbeda dengan produktivitas kerja bidang kegiatan lain yang mudah untuk dihitung dan dikalkulasikan. Produktivitas kerja pendidikan ditentukan oleh bayak faktor, antara lain: lingkungan sosial budaya, kemampuan pendanaan pemerintah, daya serap dunia usaha atau dunia kerja, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, sesungguhnya sangat sulit dan rumit untuk mengukur tingkat produktivitas kerja dalam dunia pendidikan terutama apabila ingin mengukur kualitasnya.
Engkoswara (1998: 19) menyatakan bahwa:
Dalam dunia pendidikan produktivitas kerja, khususnya produktivitas kerja guru tidak harus berhubungan dengan rasio output dan input seperti halnya sering terlihat pada produktivitasnya kerja karyawan perusahaan. Produktivitas kerja guru adalah unjuk kerja dalam melaksanakan tugas pokoknya sebagai tenaga pendidikan uang bertanggungjawab terhadap bangsa dan negara.
Pendapat di atas sejalan denga pernyataan Iskandar (1998: 1) sebagai berikut:
Produktivitas kerja guru sebagai pendidik mengandung arti yang luas, tidak sebatas memberikan bahan-bahan pengajaran secara optimal saja, tetapi menjangkau etika dan estetika perilaku siswa kelak dalam menghadapi tantangan kehidupan di masyarakat. Tugas dan tanggungjaawab guru hendaknya dapat mempertanggungjawabkan secara Hablumminallah dan Hablumminannas. Pertanggungjawaban secara Hablumminallah adalah pertanggungjawaban guru terhadap sang Pencipta (Allah), sedangkan pertanggungjawaban Hablumminannas merupakan pertanggungjawaban guru terhadap manusia (pemerintah, masyarakat dan orang tua siswa).
Sedangkan untuk mengukur sampai sejauh mana tinglat kroduktivitas kerja guru dalam melaksanakan tugasnya sebagai tenaga yang bekerja di bidang pendidikan dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsanya. Yaitu mencetak dan menghasilkan SDM Indonesia yang berkualitas, Iskandar (1998: 7) mengungkapkan sebagai berikut:
Tingkat produktivitas kerja guru dapat dilihat dari kompetensi dan produktivitas kerja guru dalam:
1) Menerapkan landasan pendidikan, baik filosofi maupun psikologi,
2) Menerapkan teori belajar yang sesuai dengan tingkat perkembangan perilaku peserta didik,
3) Menangani mata pelajaran atau bidang studi yang ditugaskan lepadanya,
4) Menerapkan metode pengajran yang sesuai dengan karakter bahan ajar,
5) Menggunakan berbagai alat pelajaran dan media serta afasilitas belajar,
6) Mengorganisasikan dan melaksanakan program pengajaran,
7) Melksanakan evaluasi belajar, dan
8) Menumbuhkan kepribadian peserta didik.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa produktivitas kerja guru bukanlah semata-mata pada sisi kuantitas, yakni dapat membentuk atau menghasilkan sisiwa menjadi SDM yang handal sebagaimana telah ditetapkan dalam tujuan Pendidikan Nasional yang secara esensial merupakan pengejawantahan dari harapan dan tuntutan orang tua sisiwa, masyarakat, dan pemerintah.
C. Fungsi pengukuran produktivitas kerja guru
Pengukuran terhadap Produktivitas kerja sangat perlu dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan agar dapat diketahui dengan pasti sampai sejauh mana signifikasi tingkat kenaikan atau kemundurannya. Dengan mengetahui tingkat kenaikan dan kemunduran tersebut, maka dapat ditentukan segera langkah-langkah yang tepat untuk mengatasinya. Hal ini sejalan dengan pendapat Ravianto (1999: 31) yang menyatakan bahwa fungsi pengukuran dari pengukuran produktivitas kerja guru adalah:
1) Untuk melihat tingkat maupun perubahan produktivitas kerja yang terjadi dalam perjalanan waktu yang telah dilakukan oleh seluruh karyawan (guru),
2) Untuk memberikan penilaian nyata atas unjuk kerja dari para karyawan (guru), dan
3) Untuk membandingkan produktivitas sendiri dengan produktivitas kerja organisasi/ lembaga yang lain, yakni untuk melihat posisi diri sendiri pada saat ini.

D. Faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas kerja guru
Faktor yang mempengaruhi produktivitas secara umum adalah kemampuan, motivasi dan pretasi individu pegawai. Faktor yang mempengaruhi bisa berasal dari dalam maupun luar. Faktor dalam adalah pendidikan, motivasi dan kepuasan kerjasama, komitmen terhadap pekerjaan yang diembannya. Faktor luar adalah fasilitras tersedia, keeratan hubungan, sistem pengembangan karier, dan kepeminpinan.
Ravianto, (1999: 237) mengemukakan bahwa produktivitas kerja sangat dipengaruhi oleh tiga belas faktor dominan, faktor-faktor tersebut adalah “(a) pendidikan, (b) keterampilan, (c) disiplin, (d) motivasi, (e) sikap dan etika, (f) gizi dan kesehatan, (g) tingkat penghasilan, (h) jaminan sosial, (i) teknologi, (j) lingkungan dan iklim kerja, (k) sarana produksi, (l) manajemen, dan (m) kesempatan berprestasi.
Dengan mengkaji berbagai pendapat di atas, kemudian dikaitkan dengan tugas guru, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi prodiktivitas kerja guru tersebut terdiri atas dua kelompok, yaitu: Pertama, kelompok internal yaitu faktor-faktor yang berasal dari dalam diri individu, yang termasuk kelompok internal adalah pendidikan, keterampilan, disiplin, motivasi intristik, sikap, etika kerja, dan gizi. Kedua, kelompok eksternal adalah faktor-faktor yang berasal dari luar diri individu seperti, tingkat penghasilan, jaminan sosial, lingkungan dan iklim kerja, teknologi, sarana produksi, manajemen, dan kesempatan untuk berpretasi.

2.2. Kerangka Pemikiran
Dalam rangka meningkatkan produktivitas kerja guru sesuai dengan yang diharapkan perlu diciptakan iklim organisasi yang kondusif dan menyenangkan baik fisik maupun non fisik pada lingkungan sekolah.
Salah satu faktor yang mempengaruhi terhadap produktivitas kerja guru diantaranya adalah terbentuknya budaya organisasi yang menciptakan suasana kondusip dan menyenangkan, Efek dominanya adalah kualitas pendidikan para peserta didik juga akan meningkat pesat maka spontan program kerja sekolahpun akan tercapai sesuai dengan target yang telah ditetapkan, sedangkan jika yang terjadi sebaliknya, maka sudah dapat diprediksikan guru bekerja tidak akan efektif dan tentu takkan optimal, bahayanya lagi – kalau ini terjadi – ialah kualitas peserta didik menurun programpun tidak akan tercapai.
Dengan memperhatikan uraian singkat di atas maka penulis sampaikan bahwa budaya organisasi yang dapat menciptakan suasana organisasi sekolah kondusip dan nyaman serta mampu menanamkan dan menjaga komitmen, kesetiaan, kebanggaan dan kemauan akan mempengaruhi terhadap efektivitas kerja guru begitu pula dengan iklim organisasi yang kondusip akan mempengaruhi terhadap produktivitas kerja Guru.
Digambarkan dalam sebuah skema sebagai berikut :

Gambar 1
KERANGKA PEMIKIRAN

X1 r x1- y




R. x1. x2 - y



X2

r x2 – y



2.3. Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka penulis menetapkan hipotesis sebagai berikut :
1. Iklim Organisasi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap produktivitas kerja guru SMP Potensial di wilayah sukaraja belum baik.
2. Budaya organisasi mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap produktivitas kerja guru pada SMP. Potensial di wilayah sukaraja
3. Terdapat korelasi antara Budaya Organisasi dengan Iklim Organisasi terhadap produktivitas kerja guru.












BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Objek Penelitian
Yang menjadi objek dalam penelitian ini kepala sekolah dan guru – guru di SMP Potensial Se Wilayah Sukaraja. Karena yang penulis teliti tidak lebih dari 100 orang maka tidak menggunakan penelitian sampel semua responden dijadikan sebagai populsi sebanyak 40 orang termasuk kepala sekolah

3.2. Metode Penelitian
Metode penelitian yang akan digunakan dalam penyusunan tesis ini adalah Metode deskriptif dengan teknik survey. Yang dimaksud dengan metode deskriptif adalah sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan, melukiskan keadaan subjek dan objek penelitian ( seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain ) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya sedangkan survey pada umumnya merupakan cara pengumpulan data dari sejumlah unit atau individu dalam waktu yang bersamaan.
Metode deskriptif menurut Nazir (1985: 65) adalah suatu metode untuk meneliti status kelompok manusia, suatu objek, serta kondisi dan sistem pemikiran pada masa sekarang. Tujuannya adalah untuk membuat gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diteliti
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini diharapkan dapat mengungkapkan fenomena yang dikaji secara sistematis untuk mendapatkan kebenaran dari segala permasalahan yang diteliti. Demikian pula penelitian ini dimaksudkan untuk dapat menggambarkan realita dari permasalahan yang diteliti secara mendalam dengan cara mencari data yang faktual dari variabel yang diteliti, sehingga hubungan dari semua variabel tersebut dapat dianalisis secara kuantitatif dan relevan dengan data yang diperoleh.

3.3. Operasional Variabel
Untuk mengetahui pengaruh Budaya Organisasi dan iklim organisasi terhadap produktivitas kerja guru pada Sekolah Menengah Pertama potensial di wilayah sukaraja diperlukan operasionalisasi variabel.
Operasionalisasi variabel dimaksudkan untuk mengetahui pengukuran variabel-varibel penelitian. Dalam penelitian ini yang menjadi varibel bebas atau varibel independent yaitu Budaya organisasi (X1) dan Iklim Organisasi (X2), sedangkan varibel terikat atau variabel dependent (varibel Y) yaitu produktivitas kerja guru. Adapun secara operasional varibel-varibel tersebut dapat dijabarkan pada table berikut.

Tabel 3.1
Operasionalisasi variabel penelitian

N0 Variable Aspek Indicator No item ordinal
1 Iklim organisai (X1) 1. lingkungan fisik










2. lingkungan nonfisik 1.1 Kondisi penerangan di tempat kerja
1.2 keadaan suhu udara di tempat kerja
1.3 ventilasi udara di tempat kerja
1.4 layout ruang kantor
1.5 kebersihan ruang kerja
1.6 kebisingan di tempat kerja
1.7 kenyamanan dan keamanan tempat kerja
1.8 kerapihan tempat kerja
1.9 keadaan seragam personil
1.10 tesedianya peralatan kerja yang memadai
1.11 tersedianya tempat istirahat seperti cafeteria
1.12 tersedia tempat ibadah
1.13 keadaan sarana dan prasarana sekolah
1.14 tersedianya sarana angkutan
2.1 hubungan kerja sama antara atasan dengan bawahan atau sesame karyawan
2.2 pembidangan dan pembagian kerja
2.3 pembinaan dan pengembangan kerja sama
2.4 persaingan yang sehat
2.5 prilaku pimpinan yang bebas dari deskriminasi dan KKN, serta lainnya 1
2
3
4
5
6

7-8
9
10

11

12
13

14

15

16-17


18-20

21-23

24-25

26-30

2




Budaya Organisasi (X1)








1 Nilai




2 Norma




1.1 kenyakinan diri
1.2 Tujuan
1.3 kebanggaan
1.4 persaingan

2.1 menerima tugas
2.2 umpan balik
2.3 tanggungjawab
2.4 Pekerjaan

1-18




19-32
3 Produktivitas kerja guru (Y) 1 Efektivitas

2 Bekerja dengan produktif 1.1 efektif dalam pelaksanaan tugas
2.1 lebih dari memenuhi kualifikasi pendidikan
2.2 motivatif
2.3 propesional
2.4 disiplin
2.5 kreatip dan dinamis
1-4

5-7

8-14

15-29

Keterkaitan antara variabel – variabel tersebut di atas dapat digambarkan melalui diagram berikut :





Keterangan :
X1 : Budaya Organisasi
X2 : Iklim Organisasi
Y : Program Kerja Guru
rx1y : Korelasi antara X1 dengan Y
rx2y : Korelasi antara X2 dengan Y
rx1x2y : Korelasi antara X1, X2 dengan Y

3.4. Sumber Data dan Alat Pengumpulan Data
Berdasarkan gambaran di atas, maka yang menjadi fokus penelitian adalah Budaya Organisasi dan iklim kerja terhadap produktivitas kerja guru pada Sekolah potensial di Wilayah Sukaraja. Sumber datanya akan diperoleh dari populasi yang terdiri dari 40.orang , dan semua dijadikan responden (tidak dilakukan penelitian sampel). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 3.2
Keadaan dan Jumlah Responden

No. Responsen Jumlah Keterangan
1 Guru dan Kepala Sekolah 40
Jumlah 40
Sumber :.Daftar Guru dan TU SMP Potensial Se Wilayah Sukaraja
Selanjutnya, data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari responden sesuai dengan kebutuhan informasi yang dituangkan dalam pernyataan terstruktur, sedangkan data sekunder yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung dari responden yang menunjang pada pembahasan hasil penelitian. Atau denga kata lain bahwa sumber dan alat pengumpul data diperoleh dari :
1. Data sekunder melalui studi dokumentasi yang berupa laporan, hasil penelitian sejenis, atau dari dokumen-dokumen yang berkaitan dengan masalah-masalah penelitian.
2. Data primer melalui penelitian lapangan, dengan :
a. Angket/ kuesioner, yang dilakukan dengan cara memberikan formulir berisi jumlah pernyataan secara tertulis dengan disertai alternatif jawaban kepada responden, sehingga responden tinggal memilih jawaban sesuai keadaan yang sebenarnya (angket tertutup).
b. Wawancara, yaitu mencari informasi kepada pihak yang dianggap berkompeten dalam masalah penelitian dengan menggunakan pedoman wawancara.
Alat pengumpul data yang berupa kuesioner terlebih dahulu harus dilakukan uji validitas dan uji relibilitas. Untuk menguji validitas alat ukur yang berupa angket terlebih dahulu dicari korelasi antara bagian-bagian dari alat ukur secara keseluruhan , dengan cara mengkorelasi setiap butir alat ukur dengan skor total yang merupakan jumlah tiap skor butir dengan menggunakan rumus korelasi ”Product Moment Person” sebagai berikut :

Keterangan :
r = Koefisien korelasi
X = Jumlah sekor tiap item ke-1
Y = Jumlah skor total seluruh item
n = Jumlah responden

Selanjutnya dihitung nilai/ statistik uji t pada tarap signifikan α = 0,05 dan derajat kebebasan (dk) = n-2 dengan rumus :

Keterangan :
t = Nilai t terhitung
r = Koefisien korelasi hasil hitung
n = Jumlah Responden
Kaidah keputusan :
1. Jika t hasil hitung lebih dari t hasil daftar distribusi, maka instrumen tersebut valid
2. Jika t hasil perhitungan kurang dari atau sama dengan t hasil dari distribusi, maka instrumen tersebut tidak valid.
Selain harus valid, alat ukur penelitian juga harus reliabel atau handal , reliabilitas merupakan indeks yang menunjukan sejauhmana alat ukur penelitian dapat dipercaya atau diandalkan. Dengan demikian reliabilitas menunjukan konsistensi alat ukur penelitian dalam mengukur gejala yang sama. Untuk menguji alat ukur penelitian ini menggunakan rumus “Alfa Crombach” dengan tahapan sebagai berikut :
1. Penentuan nilai korelasi (r) untuk menentukan nilai korelasi digunakan rumus sebagai berikut :
Rumus menghitung Si1 dan ST2



Keterangan :
n = Jumlah responden
Jki = Penjumlahan dari kuadrat seluruh skor tiap atem
Jks = Penjumlahan dari kuadrat jumlah skor tiap item
XT = Skor masing-masing responden
K = Jumlah item

2. Penentuan nilai hitung . rumus yang digunakan untuk mendapatkan nilai t hitung sebagai berikut :

Dimana :
r = Koefisien korelasi
n = Jumlah Responden

3. Pernyataan keputusan nilai t hitung yang dihasilkan kemudian dibandingkan dengan nilai t tabel, pada tarap nyata sebesar a = 0.05 dan derajat kebbasan sebesar dk = n – 2 setelah dibandingkan kemudian diambil keputusannya dengan pernyataan sebagai berikut :
a. Jika t hasil hitung > t tabel, maka alat ukur penelitian yang digunakan reliabel
b. Jika t hitung t tabel, maka alat ukur penelitian yang digunakan tersebut tidak reliabel



3.5. Teknik Analisis Data dan Uji Hipotesis
Untuk menganalisis data yang telah terkumpul digunakan cara statistik , baik secara deskriptif inferensial atau analisis hubungan antar variabel. Adapun analisis ini menggunakan model analisis jalur ( path analysis ). Dengan langkah langkah sebagai berikut :
E
1. Membuat diagram jalur variabel ryx
ryx1
rx1x2
ryx2
Catatan : X1 : Budaya Organisasi
X2 : Iklim Organisasi
Y : Program Kerja Guru

2. Menghitung korelasi antara variabel independen (X1) dan variabel independen (X2) dengan variabel dependen Y.
3. Menyusun matrik Korelasi RX dan vektor RY

4. Menghitung inver s matrik RX yaitu RX1

5. Menghitung koefisien jalur RYX1 yaitu :
PYX1 = RX RY : 1 = 12
6. Koefisien determinan R2Y (X1X2)

7. Mengkaji koefisien jalur secara simultan
F = (N-K-1) R2Y(X1X2)
8. Mengkaji secara parsial masing-masing koefisien jalur

9. Menentukan keputusan
a. Jika t hitung > t (α, n – k – 1), maka H0 ditolak dan H2 diterima artinya terdapat perbedaan tentang besarnya pengaruh diantara dua variabel.
b. Jika t hitung < t (α, n – k – 1), maka H0 diterima dan H1 ditolak artinya besarnya pengaruh diantara dua variabel sama.









3.1 Tempat/Lokasi dan Jadwal Penelitian
Penelitian ini penulis lakukan di SMP Potensial Se Wilayah Sukaraja Kabupaten Tasikmalaya . dengan jadwal sebagai berikut :
JADWAL KEGIATAN
No Uraian Kegiatan Waktu Kegiatan
2009/2010
Okt Nop Des Jan Peb Mar Apr Mei
1) Persiapan Penelitian V V
2) Observasi V
3) Membuat Usulan Penelitian V
4) Seminar Usulan Penelitian V
5) Pelaksanaan Penelitian Lapangan V V V
6) Pengolahan Data V V V
7) Penulisan/Penyusunan Tesis V V
8) Pelaksanaan Ujian Sidang v